Sang Pecinta Pencipta

Sang Pecinta Pencipta
Mohamad Yasin Yusuf Al Fadholi

Sabtu, 13 Maret 2010

Pesantren

A. Pendahuluan
Pesantren bukan semata-mata sebagai sebuah institusi pendidikan saja. Sejak kemunculannya,
pesantren muncul sebagai sebuah institusi yang telah berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan
sosial di Indonesia.1 Oleh karena itu, pesantren merepresentasikan pendidikan yang unik yang
mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama. Akar dan sintesis ini kemudian mempengaruhi
fungsi pesantren baik secara internal maupun eksternal. Pesantren muncul sebagai sebuah komunitas
kehidupan yang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas kreatif yang
menggunakan pendidikan alternatif yang menggabungkan pendidikan dan pengajaran dengan
pembangunan komunitas.2 Wacana tentang fungsi sosial pesantren diperlukan dengan menimbang
1 Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. xiv.
2 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia,
(Berlin: Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian society for Pesantren and community Development (P3M),
and Technical University Berlin, 1987), p. 218.
ulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat indonesia modern, dimana dinamika
modernitas mempengaruhi keberadaan pesantren secara fundamental sehingga mengakibatkan
munculnya problem identitas kultural pesantren. Problem ini dapat dianggap sebagai konsekuensi
dan implikasi logis ketika berhubungan dengan modernitas yang memiliki keharusan yang
mempengaruhi secara khusus fungsi sosial dan budaya yang didasari atas kewajiban keagamaan.
Akibatnya, modernitas memberi tantangan secara langsung terhadap asumsi tradisional dari dunia
pesantren. Sudah saatnya untuk memikirkan kembali misi otentik dan peranannya ditengah-tengah
masyarakat Indonesia. Modernitas sendiri membawa perubahan-perubahan dalam banyak aspek
kehidupan, khususnya institusi agama seperti pesantren itu sendiri. Akhir-akhir ini, usaha untuk
mereformulasi peranan ideal pesantren di tengah masyarakat Indonesia dapat menjadi semacam
usaha kultural yang cukup serius. Ini karena secara historis, pesantren identik dengan ”sekolah
rakyat” dan ”sekolah kehidupan” khususnya di wilayah pedesaan di Indonesia.
Dalam merespons modernitas, pendidikan diupayakan melalui keterlibatan kreatif dari nilainilai
otentik Islam yang ditransformasikan ke dalam lingkup sosial budaya. Pesantren yang mirip
madrasah atau sekolah agama di dunia Islam ini telah banyak menarik perhatian dalam karya-karya
tertentu ilmuwan barat yang telah dipublikasi, sementara di fihak ilmuwan Indonesia telah
memproduksi karya dan literatur yang banyak tentang pesantren termasuk buku-buku dan tesis-tesis
yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan literatur ini merujuk kepada karya Zamakhsari Dhofier
dan Taufik Abdullah yang tetap menjadi gerbang yang baik bagi studi tentang sekolah-sekolah ini.3
Karya-karya ini kebanyakan menekankan bahwa pesantren dan modernitas bukan tidak sesuai tetapi
dapat bekerjasama untuk kondisi negara yang lebih baik. Sementara yang lain berargumen bahwa
peranan pasti pesantren masih menjadi perdebatan.4
Wacana dalam tulisan ini akan difokuskan kearah sejauh mana pesantren sebagai institusi
agama Islam dapat melakukan adaptasi terhadap modernitas. Dalam kapasitas apa pesantren dapat
memerankan fungsi-fungsi sosial budaya dalam komunitas santri ditengah-tengah modernitas
masyarakat Indonesia. Signifikansi wacana ini dapat dilihat sekilas dalam kontroversi tentang
pesantren berikut:
3 Zamakhsyari Dhofier, “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the Maintenance of the
Traditional Ideology of Islam in Java,” Ph.D. dissertation, (The Australian National University, 1980); Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982); Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren
Tradition: The Role of Kyai in the Maintainance of Traditional Islam in Java (Arizona: Arizona State University, 1999); Taufik
Abdullah, “The Pesantren in Historical Perspective,” in Taufik Abdullah and Sharon Siddique (ed.), Islam and Society in
Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1987).
4 Taufik Abdullah, “The Pesantren in Historical Perspective”.
“karena itu, pandangan-pandangan kontroversial yang dibicarakan ini menyangkut apakah
pendidikan Islam dapat dipakai untuk adaptasi kultural perubahan sosial atau tidak. Satu
mazhab berargumen bahwa ilmu dan teknologi modern tidak bisa dibahas tanpa adanya
masing-masing referensi bagi ruang lingkup kultural dan sosial sebagaimana diekspresikan
dalam etika kerja yang pantas. 5
Wacana tentang perubahan budaya dan juga perubahan sosial telah memberi pengaruh
semua aspek kehidupan termasuk orientasi pendidikan, pendekatan etika-etika sosial, dan sistem nilai
pesantren. Pandangan bahwa perubahan sosio-kultural merupakan sebuah proses pembelajaran,
kemudian pendidikan agama, khususnya yang direpresentasikan oleh pesantren, dapat mengambil
peran dalam peranan-peranan sosio-kultural. Atas dasar nilai-nilai keagamaan yang otentik, pesantren
tidak hanya melakukan adaptasi internal atas visinya namun juga mempengaruhi perubahanperubahan
sendiri atas nama kehormatan manusia dan penyembahan kepada Tuhan. Dari sini,
eksistensi pesantren diharapkan dapat menjadi sumber pencerahan kultural bagi masyarakat
sekitarnya.
Teori dan pendekatan sosial antropologi secara luas digunakan dalam tulisan ini. Dengan
menekankan metode kualitatif, pendekatan ini akan melibatkan interpretasi-interpretasi bagi
eksistensi, nilai, dan fenomena pesantren dan kemudian mengaplikasikannya dalam bentuk deskripsi
analitis. Disini, pendekatan Weberian akan terasa lebih relevan. Sembari mengikuti alur fikiran
Weberian, pendekatan ini lebih banyak menyentuh seputar persoalan relasi-relasi diantara faktorfaktor
keagamaan termasuk ide, praktik, institusi, bentuk otoritas, dan proses-proses sosial. Jika kita
melacak ide-ide historisitasnya, dimana perhatian utamanya terletak secara bersamaan dengan
perubahan sosial dan lebih khusus lagi transisi-transisi kapitalisme dan modernitas. Sebagaimana kita
tahu, dia menguji hubungan fundamental diantara etika-etika protestan dan spirit kapitalisme.6 Dari
analisisnya, kita dapat menjelaskan tesis bahwa nilai-nilai agama telah memotivasi tingkah laku
kapitalis. Disini, di dalam tesis yang lain, kita dapat katakan bahwa bagaimana nilai-nilai agama Islam
memberi dorongan dan motivasi pesantren sebagai institusi. Kemudian, motivasi-motivasi agama
dari pesantren ini dieksplorasi dalam bentuk-bentuk fungsi sosial dan kultural dan konsep sosial.
Dengan kata lain, praktek-praktek sosial yang ideal terhadap pesantren dianggap sebagai konsekuensi
dan hasil dari doktrin dan motif agama Islam. Aktivitas sosial pesantren secara prinsipil bermotifkan
keagamaan. Mereka berusaha untuk menjaga pengaruh peranan pesantren dalam kedua aspek sosio-
5 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 131.
6 Max Weber, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, (New York: Charles, 1958), p. 50-57.
religius dan sosio-kultural. Kedua motif sosial dan religius ini berhubungan dengan etika-etika sosial
Islam yang ditandai dengan standard moral dan ideal yang tinggi ditengah-tengah persamaan dan
kehormatan kemanusiaan sebagai nilai-nilai yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.7 Sehingga, metode
dan pendekatan Weberian akan relevan dalam mengeksplorasi nilai-nilai keislaman dibalik fungsi
sosio-kultural pesantren dalam kaitannya dengan dinamika modernitas dan perubahan social.
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan telaah ulang terhadap fungsi-fungsi sosio-kultural
pesantren yang dipicu oleh beberapa problem mendasar. Problem dasar pesantren dapat
diidentifikasi dan diformulasi secara internal dan eksternal. Secara internal, ia menunjukkan sejauh
mana pesantren harus menjaga otonomi, identitas, dan spirit tradisionalisme-nya dalam berhubungan
dengan pengaruh-pengaruh dunia modern. Hal ini termasuk jenis fungsi dan peranan apa saja yang
harus diseleksi dan dikembangkan. Kemudian, tulisan ini menguji bagaimana pesantren dapat
menjaga sumber-sumber spiritual yang ada dan menggunakannya bagi pengembangan pesantren itu
sendiri dan komunitas sekitarnya. Secara eksternal, tulisan ini juga menunjukkan bagaimana
pesantren mampu mengantisipasi peranan-peranan sosio-kultural dalam konteks dunia modern di
masa depan.
B. Pesantren di Era Indonesia Kontemporer
Ada banyak model dan gambaran pesantren sehingga agak sulit untuk melakukan
kategorasisasi dalam suatu definisi tunggal apalagi membuat definisi yang ketat. Mungkin lebih baik
mengambil aspek esensi atau substansi dari pesantren. Dari sisi ini, kita dapat memandang gambaran
komprehensif tentang pesantren. Pertama, gambaran global tentang pesantren sangatlah beragam.
Pesantren memiliki keunikan tersendiri sehingga akan terasa sulit untuk mendefinisikan nya dalam
satu konsep yang mencakup semua gambaran tentang pesantren. Bagaimanapun, disana justru ada
semacam model dan gambaran penting dari pesantren. Model ini diformulasikan atas dasar riset
empirik, yaitu aspek visioner dalam tujuan pesantren. Tujuan pesantren secara mendasar adalah
untuk membangun dan mengembangkan kepribadian muslim yang tata kepada Tuhan dalam kondisi
beriman dan bertakwa. Ketaatan ini, selanjutnya, akan memancarkan kewajiban moral untuk
menyebarkan ajaran dan spirit Islam diantara manusia. Seorang santri bertujuan untuk menjadi
muslim yang benar dengan menjaga orientasi hidupnya kepada yang Suci dengan menekankan sikap
normatif dan ideal atas dasar fikih. Selanjutnya, dalam implementasi-implementasi sikap idealistik
7 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 125-130.
dalam kehidupan harian, santri harus menjauhi godaan-godaan material, sikap-sikap dan tendensi
keduniawian.8
Pesantren merupakan sekolah berasrama di indonesia. Pesantren bertujuan untuk
memperdalam pengetahuan agama Islam, khususnya melalui studi bahasa arab, tradisi penafsiran,
hadits nabi, hukum dan logika. Istilah pesantren berasal dari akar kata santri ”pe-santri-an” atau
tempat santri.9 Semua pesantren dipimpin oleh sekumpulan guru dan pemimpin agama yang dikenal
bernama kiyai. Kiyai dikenal sebagai guru dan orang yang taat. Kiyai juga memegang peranan penting
dalam komunitas sebagai pemimpin agama dan beberapa tahun belakangan ini sebagai figur politik.
Disana ada keluarga-keluarga kiyai yang telah memiliki sejarah panjang mengabdi dalam peranan ini.
Beberapa kiyai kontemporer merupakan cucu dan cicit dari figur yang terkenal dalam sejarah
pendirian pesantren. Dua tipe dari sistem pendidikan ini telah dilaksanakan hari demi hari. Sebagai
institusi sosial, pesantren memegang peranan penting selama berabad-abad. Mereka menekankan
nilai-nilai inti dari keikhlasan, kesederhanaan, kebebasan individu, solidaritas, dan kontrol diri. Santri
dan santriwati hidup terpisah dari keluarga mereka. Hal itu memberikan kesan akan adanya
komitmen kepada iman dan kedekatan dengan seorang guru.
Pesantren memberi fasilitas kepada penduduk indonesia dengan harga yang murah.
Walaupun saat ini, beberapa pesantren modern membuat harga yang lebih tinggi dari sebelumnya,
pesantren masih dianggap lebih murah dari institusi-institusi pendidikan non-pesantren. Tipe
pesantren tradisional diperuntukkan bagi santri-santri supaya dapat bekerja di sawah-sawah untuk
diganti dengan makanan, tempat tinggal dan pendidikan. Kebanyakan pesantren menyediakan sarana
tempat tinggal atau asrama dengan harga murah atau gratis untuk para santri. Pesantren juga menjadi
salah satu institusi filantropik di Indonesia. Pesantren merepresentasikan kekuatan tradisi wakaf dan
santunan Indonesia yang berfungsi sebagai organisasi filantropik dan penerima donasi. Mereka telah
dapat bertahan hidup selama berabad-abad dari sumber-sumber komunitas lokal yang kebanyakan
berasal dari zakat, infak dan sedekah. Aktivitas derma dan manajemen sumberdaya pesantren dapat
dibedakan kedalam dua bentuk, modern dan tradisional. Pesantren modern menggunakan organisasi
modern untuk mengatur harta derma mereka, sementara yang tradisional tetap tergantung pada
otoritas kiyai dalam pengelolaannya. Walaupun banyak pesantren telah melakukan transformasi
kedalam sekolah-sekolah elit dan modern, tradisi kedermawanan mereka masih tetap ada.
8 Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren, p. 55-56.
9 Ronald Lukens-Bull, "Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era", Journal of Arabic
and Islamic Studies, Vol. 3, 2000), p. 48.\
mulai separuh pertengahan abad ke 20, beberapa pesantren mulai menambah materi subjeksubjek
sekuler kedalam kurikulum mereka sebagai sebuah cara untuk melakukan negosiasi terhadap
modernitas. Penambahan kurikulum-kurikulum yang diakui negara telah mempengaruhi pesantren
tradisional dalam banyak hal. Hal itu telah mengakibatkan adanya kontrol yang lebih besar dari
pemerintah dan membatasi jumlah jam yang ada bagi subjek tradisional yang membuat keputusankeputusan
sulit. Banyak pemimpin-pemimpin pesantren memutuskan bahwa pelatihan pemimpin
agama adalah tidak murni tujuan mereka dan sekarang sudah cukup untuk meluluskan santri dan
santriwati yang memiliki moralitas kiyai.10 Kurikulum pesantren memiliki empat kemungkinan
komponen: (1) ngaji sebagai pendidikan agama tradisional, (2) kurikulum-kurikulum yang diakui
pemerintah, (3) pelatihan keahlian atau skill, (4) pengembangan karakter. Pesantren berbeda-beda
dalam tingkat keterlibannya dari komponen-komponen tersebut, bagaimanapun semua merasa
bahwa pengembangan karakter bagi santri-santri merupakan karakter yang ada dari pesantren.11
Melalui desain ulang kurikulum, orang-orang pesantren terlibat dalam proses re-imaginasi
modernitas. Modernitas dikhayalkan sebagai suatu potensi yang berbahaya dalam terma moral yang
menyertainya.
Setelah kemerdekaan indonesia, khususnya sejak masa transisi ke Orde Baru, pendidikan
pesantren menjadi semakin banyak ragamnya. Ada pesantren dimana santri-santri diajar dalam cara
tradisional, membaca teks secara individu didepan guru yang biasanya membuat beberapa koreksi
dan memberi beberapa tambahan penjelasan, tetapi kebanyakan pesantren juga memiliki ruangan
dan pengajaran yang ekslusif dengan kurikulum yang mapan, serta menawarkan pengajaran ilmuilmu
umum disamping teks-teks Islam klasik. Perbedaan antara pesantren dan madrasah negeri bisa
dilihat dimana pesantren merupakan sekolah berasrama walaupun beberapa santri mungkin tinggal di
wilayah sekitar dan pulang setelah kelas selesai. Kebanyakan pesantren sekarang mengajar level
menengah. Sebuah madrasah ibtida’iyah mirip dengan sekolah dasar. Sementara, Madrasah
Tsanawiyah dan ’Aliyah sama dengan level menengah dan tinggi. Beberapa pesantren menawarkan
level-level yang lebih tinggi seperti Mu’allimin atau training guru atau Ma’had ’Aly (pesantren tingkat
tinggi), sebuah nama yang setingkat level universitas. lebih dari itu, dalam kebanyakan pesantren,
adalah mungkin untuk mengikuti secara ekslusif pelajaran-pelajaran agama.12
10 Ibid., p. 26-48.
11 Ronald Lukens-Bull, A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java, (New York: Palgrave
McMillian, 2005), p. 47-70.
12 Martin van Bruinessen, “Traditionalist’ and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia”, paper presented
at the ISIM workshop on 'The Madrasa in Asia', the Netherlands, 23-24 May 2004.
Sebagaimana disebutkan diatas, memandang pesantren sebagai representasi pendidikan yang
unik yang mensintesiskan dimensi sosio-kultural, edukasi, dan religi dimana sintesis itu kemudian
mempengaruhi fungsi-fungsi pesantren baik internal maupun eksternal. Secara internal, pesantren
telah mengembangkan ilmu agama, nilai dan moralitas Islam dalam menyembah kepada Tuhan.
Mereka bertujuan untuk meletakkan moralitas agama diatas rasionalitas. Oleh sebab, dalam
pandangan pesantren, sains adalah suatu ilmu yang berada dalam paradigma metafisik seperti
seperangkat ilmu dari Tuhan.13 Dalam konteks institusi pendidikan ini, pesantren secara historis
sangat identik kepada tradisi pengetahuan. Bagaimana pun, pengetahuan ilmiah tidak dipandang
berbeda dari sesuatu yang sekuler. Dalam kondisi-kondisi pesantren, sistem nilai dan sains tidak
dapat dipisahkan dari tradisi yang memiliki pusat dalam peranan personal dan kharisma kiyai, tuan
guru, atau ajengan. Kepatuhan kepada kiyai adalah salah satu dari nilai-nilai yang ditanamkan
kedalam diri setiap santri.14 Kiyai dipandang sebagai sumber ilmu yang bermanfaat dan bagian
integral dari tradisi keilmuan di pesantren. Walaupun ada perbedaan pandangan tentang tradisi
keilmuan di pesantren, bahkan kritik dari kaum modernist Islam, bagaimanapun peranan kiyai telah
mewarnai sintesis integral diantara tradisi Islam dan pengetahuan ilmiah dimana pesantren
memegang peranan-peranan eksperimental selama ratusan tahun. Didasari atas spirit Islam yang
fundamental, pesantren telah mengembangkan dan melakukan institusionalisasi sintesis yang unik
diantara nilai-nilai agama dan tradisi keilmuan dalam sistem pendidikan dengan cara melakukan
dekonstruksi batasan-batasan yang ketat antara ilmu, akal, dan iman seperti yang dilakukan dalam
modernisme. Sintesis ini akan menjadi sumber yang berguna bari terlaksananya fungsi-fungsi sosiokultural
dimana nilai-nilai agama Islam adalah basis yang kokoh untuk memotivasi aktivitas-aktivitas
sosial.
Secara eksternal, pesantren muncul sebagai sebuah komunitas kehidupan yang memiliki daya
untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas kreatif yang menggunakan pendidikan alternatif dengan
menggabungkan pendidikan dan pengajaran bersama komunitas. Ditengah-tengah masyarakat
Indonesia, pesantren secara historis dipandang identik dengan sekolah rakyat dan sekolah
kehidupan khususnya di wilayah pedesaan. Menurut Dawam Rahardjo, pesantren merupakan sebuah
institusi pendidikan dan juga penyebaran Islam. Itulah identitas pesantren yang otentik sejak awal
kemunculannya dan perkembangannya. Bagaimanapun, ia menyadari bahwa formulasi itu tidaklah
13 Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren, p. 68.
14 Martin van Bruinessen, “Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of
Religious Learning” in Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the Islands: Oral and written traditions of Indonesia and the Malay
world: Ethnologica Bernica, Berne: University of Berne, 1994), p. 121-145.
benar-benar relevan lagi akhir-akhir ini. Perubahan-perubahan sosial sekarang telah memberi
pengaruh pada performa, misi, tradisi keilmuan di pesantren sebagai dampak dari modernisasi di
Indonesia. Meskipun demikian, dia juga menekankan bahwa resistensi pesantren dipandang berharga
untuk dilihat dalam menghadapi dinamika-dinamika sosial.15 Elemen-elemen resistensi dari pesantren
harus menjadi objek penelitian. Fakta bahwa pesantren telah mendukung kebutuhan pendidikan dan
kepentingan sosial dan ekonomi di tengah-tengah orang Indonesia di wilayah pedesaan selama
ratusan tahun telah menyingkap bahwa pesantren memiliki elemen-elemen penting untuk resistensi
bahkan dalam modernitas sekalipun. Lebih dari itu, pesantren ibaratnya sebagai stasiun bagi ’genius’
lokal, sebuah produk budaya indonesia yang unik. Bahkan, pelopor pendidikan indonesia, Ki Hajar
Dewantara, mendukung pesantren sebagai sebuah model dari sistem pendidikan nasional kita.
Kembali ke misi utama eksternal pesantren, kita dapat mengutip satu poin eksternal yang
menegaskan bahwa pesantren sebagai komunitas dapat menjadi sebuah kontainer integrasi kultural
bagi masyarakat Indonesia sebagaimana yang dikemukakan Sutomo. Sutomo melihat bahwa selama
ratusan tahun, ribuan pesantren telah memainkan peranan mereka sebagai pemberadaban dengan
cara melakukan integrasi santri-santri dengan komunitas-komunitas di sekitarnya.
Peranan dan fungsi pesantren yang kuat dapat dikenali secara fundamental sebab dia berakar,
tumbuh dan berkembang di dalam komunitas, khususnya area pedesaan:
“Pesantren merupakan sebuah institusi sosial dan pendidikan yang telah memberikan sebuah
motif dan warna spesifik dari masyarakat indonesia khususnya di wilayah pedesaan.
Pesantren telah tumbuh dan berkembang bersama-sama bersama komunitasnya selama
berabad-abad. Oleh sebab itu, institusi ini tidak hanya telah diterima secara kultural, tetapi dia
juga telah ikut serta dalam pembentukan nilai-nilai kehidupan didalam komunitas nya.
Kebanyakan pesantren berada di wilayah pedesaan sehingga dapat memegang peranan aktif
dalam mempertajam otak bangsa khususnya strata sosial yang lebih rendah dan membangun
lingkungannya”.16
Tradisionalitas pesantren bersama dengan nilai-nilai agama yang terbangun menghadapi
beberapa problem dalam merespon modernitas. Nilai-nilai otentik pesantren seperti sekolah
kehidupan, pemberdayaan diri, kemandirian, misi sosial, penyebaran agama, secara langsung
dihadapkan pada tantangan nilai-nilai modern seperti sekularisme, individualisme, materialisme dan
pragmatisme. Tragedi dari nilai-nilai tradisional dalam hubungannya dengan modernitas bukanlah
cerita baru sebagai bentuk pengaruh modernisasi, khususnya erosi spiritualitas di dalam kehidupan
publik. Modernitas, dalam beberapa cara, merombak stabilisasi kehidupan komunal, nilai-nilai kohesi
15 Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), p. vii-x.
16 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 83.
sosial, proyek-proyek kemanusiaan melalui interpretasi kapitalistiknya. Bagaimanapun juga, kondisi
ini dapat menjadi momen terbaik bagi institusi tradisional seperti pesantren untuk menguji pesanpesan
agama atau misi profetik islam untuk menjadi relevan dan berguna bagi masyarakat modern.
Pesantren, bagaimanapun juga, masih menjaga fungsi-fungsi sosial dan kultural yang asli
ditengah-tengah masyarakat indonesia sebagai bagian inheren dari tugas dan tanggung jawab historis.
Oleh karena itu, pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan dapat menjadi suatu budaya tandingan
yang produktif terhadap elemen-elemen budaya modern yang merendahkan nilai sosial dan idealitas
spiritual. Fungsi sosio-kultural bermakna bahwa eksistensi pesantren dapat menjadi “center of
significance”. Pesantren bersama dengan alatnya dapat menjadi model pengetahuan dan sekolah
kehidupan yang non-dualistik seperti sebuah simbol kohesi sosial dan juga instrumen profetik dalam
berhubungan dengan perubahan sosial di dunia modern. Elemen-elemen modern seperti
pengetahuan yang mendalam, dualisme, materialisme, ideologi perkembangan tentunya bertentangan
dengan pandangan hidup holistik pesantren. Dalam aturan-aturannya, pesantren merupakan sebuah
institusi yang yang menekankan motif agama sebagai basis yang dipegang erat bagi aktivitas-aktivitas
sosial dan makna kehidupan. Nashihin Hasan telah menjelaskan unsur dan elemen holistik
pesantren:
”Pesantren tidak hanya sebuah tempat untuk belajar, namun ia merupakan sebuah paradigma
kehidupan itu sendiri. Di pesantren, tidak ada pemisahan yang jelas antara sekolah dan
lingkungan hidup. Ini karena, secara alami, pesantren mengikuti prinsip sederhana, hidup
sederhana. Ini membentuk semacam karakter khusus dari kehidupan pendidikan ala
pesantren.17
Dari penjelasan ini, kita dapat membandingkan pesantren dengan sekolah umum dan
modern. Apa yang pokok di sekolah modern sekular adalah pemisahan yang tajam antara ilmu,
kehidupan murni, dan lingkungan-lingkungan sosial. Disini, filsafat pendidikan pesantren sangat
dekat dengan filsafat pendidikan latin: non scholae discimus sed vitae (kita belajar tidak untuk sekolah
tetapi untuk kehidupan). Tekanan terhadap lingkungan menunjukkan sistem pendidikan yang
organik, holistik dan integral sehingga pesantren terlihat seperti sekolah kehidupan. Dalam banyak
buku-buku pesantren, pesantren sering disebut sebagai tempat untuk pembelajaran bagi kehidupan.
Sejak masuk pesantren, para santri telah dididik untuk belajar ilmu sebagai bagian yang inheren dari
seluruh kehidupan, belajar untuk tahu, belajar untuk berbuat dan belajar untuk hidup bersama.
Semua ini diatur di dalam cara-cara yang komprehensif. Sekali lagi, tidak ada pemisahan antara
17 Ibid., p. 84.
sekolah dan lingkungan hidup. Bersama dengan spirit pembelajaran yang otentik ini, pesantren telah
memberdayakan para santri sejak ratusan tahun dalam meningkatkan kesadaran orang-orang dan
menstimulasi kesadaran nasional ditengah-tengah petani dan wilayah-wilayah pedesaan. Tugas-tugas
ini dipercaya sebagai bagian dari ibadah, bentuk penyembahan kepada Tuhan.
Keberadaan pesantren ditengah masyarakat Indonesia menunjukkan sistem pendidikan yang
berdaya guna yang didukung oleh nilai-nilai agama. Apa yang berguna adalah bahwa masyarakat
pesantren dengan keterbatasan dan cara yang sederhana tanpa intervensi negara telah membuktikan
usaha kreatif untuk untuk meningkatkan kehidupan orang-orang dari kekurangan, buta huruf,
bahkan kemiskinan di wilayah pedesaan. Meninjau kembali kebanyakan jumlah masyarakat indonesia
hidup di area pedesaan dan pedalaman, kemudian keberadaan pesantren harus diperhitungkan.
Untuk alasan itu, Nashihin melihat bahwa pesantren dapat dibentuk a institusi non-formal, yang
konsisten bersama sistem pendidikan sosial.18
Akan lebih lengkap lagi untuk mengetahui tentang filosofi pesantren sehingga kita dapat
mengidentifikasi faktor-faktor penentu di pesantren yang mewarnai setiap fungsi sosio-kultural.
Disini, kita berbicara tentang nilai-nilai. Kita dapat menyebut beberapa nilai penentu. Nashihin
menunjukkan bahwa pesantren di dukung oleh seperangkat nilai-nilai yang berkembang secara terusmenerus
seperti (1) melihat kehidupan sebagai pelaksanaan kewajiban agama, baik itu ritual agama
per se dan keinginan untuk melakukan pelayanan sosial, (2) mengungkapkan cinta dan
penghormatan yang tulus untuk pelaksanaan kewajiban agama dan pelayanan komunitas, (3)
keinginan untuk berkorban seutuhnya bagi kemaslahatan komunitas.
Dari penjelasan pesantren sebagai sekolah untuk kehidupan, kita dapat melihat bahwa
pemberdayaan nilai-nilai agama dapat menjadi motif-motif untuk tujuan-tujuan sosial dan
meningkatkan kualitas hidup. Pesantren juga membuktikan doktrin spiritual Islam dapat menjadi
energi pembebasan dan gerakan emansipasi seperti yang dilakukan institusi pesantren selama
bertahun-tahun. Kewajiban agama terlihat menjadi elemen kunci, sebagai sebuah keharusan bagi
pembangunan komunitas di pesantren dan pelayanan sosial untuk orang-orang biasa dan petani di
wilayah pedesaan.
Bermula dari komunitas kehidupan, pesantren memiliki dinamika internalnya dalam istilah
fungsi-fungsi sosio-kultural. Sebagai sebuah jawaban dari panggilan agama dan atas dasar basis
spiritual, pesantren mengembangkan ajaran-ajaran agama melalui pendidikan dalam makna yang
lebih luas. Pesantren menerjemahkan nilai-nilai agama sebagai bingkai pendidikan yang berupa
18 Ibid.
sebuah usaha untuk mensintesiskan dan menggabungkan idealitas, ilmu dan praktis kehidupan.
Akhir-akhir ini, pengembangan pesantren ditentukan oleh dinamika eksternalnya. Kenyataannya,
dinamika-dinamika internal pesantren dipengaruhi oleh konteks dinamika eksternal masyarakat,
khususnya dalam masyarakat modern yang ditandai spesialisasi, heterogenitas, dan perubahan yang
sangat cepat. Dakwah merupakan misi penting pesantren. Bagaimanapun sebagaimana Dawam
rahardjo katakan bahwa dalam perspektif area sosial, pesantren sebagai institusi mengandung sebuah
kekuatan resisten terhadap pengaruh modernitas yang menekankan pada perubahan sebagai sumber
dinamika sosial.19
Secara historis, dinamika pesantren telah diuji melalui keterlibatan mereka dalam perananperanan
bagi perubahan. Berhubungan dengan kolonialisme dengan model pendidikan barat,
pesantren dengan spirit resistensinya telah berhasil menjaga fungsi-fungsi sosio-kulturalnya.
Pesantren tidak hanya sebuah institusi pendidikan, tetapi juga institusi pelayanan agama, pelatihan
praktis, pengembangan sosial dan juga suatu simbol peradaban Islam. Untuk mendukung fungsifungsi
dinamis pesantren, kita akan memperkenalkan peranan dasar pesantren. Pesantren mencakup
peranan-peranan berikut (1) formal, non-formal dan pendidikan informal dala lapangan sosial dan
agama, (2) jasa sosial melalui aktivitas, konsultasi, kepemimpinan dan pengembangan komunitas, (3)
Dakwah melalui lembaga, pengajian dan penyebaran informasi, (4) dedikasi kepada pesantren sebagai
sebuah institut pelayanan dan pengembangan komunitas menekankan kemaslahatan umum diatas
kemaslahatan individual, (5) seluruh sistem nilai dan karakter pesantren memberi kemampuan untk
mandiri dan independen atau otonomi.20
Kekuatan pesantren yang mendukung eksistensi dan perkembangannya di jaga oleh peranperan
mendasar tersebut. Peran-peran dasar seperti lima sifat dan karakter membuat pesantren
mampu membangun dinamikanya. Semua itu diperlukan sebagai kekuatan tawar untuk menyaingi
nilai-nilai modern. Disamping itu, dinamika-dinamika pesantren dapat dilihat secara prinsipil sebagai
institusi yang menerima multi-identitas, identitas sosial, identitas kultural, dan identitas spiritual.
Dalam menjalankan dinamika ini, pesantren adalah sebuah institusi yang menggabungkan beberapa
elemen-elemen kerangka kerja basis berfikir filosofis, motivasi agama, strategi dan pendekatan sosial,
dan solidaritas agama komunal. Singkatnya, dinamika-dinamika pesantren melibatkan elemen-elemen
internal dan eksternal. Internal bermakna bagaimana memberdayakan motivasi agama, doktrin, dan
nilai ideal sebagai sumber warisan tradisi spiritual. Sementara eksternal adalah tantangan-tantangan
19 Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren, p. viii.
20 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 84-85.
disekelilingnya yang memberi stimulan bagi pengembangan pesantren, yaitu modernitas. Yang
menjadi tantangan terbesar bagi pesanten dalam konteks dinamis adalah mengembangkan imej
modern sambil menjaga identitas otentik secara konsisten sebagai warisan tradisi. Peranan fungsi
sosio-kultural akan tergantung pada sintesis yang harmonis dari pemberdayaan internal dan eksternal.
C. Pesantren, Modernitas dan Problem Otonomi
Sebagai sebuah sistem, budaya modern telah dibentuk oleh seperangkat keyakinan, yaitu akal,
kebenaran, universalitas, dan perkembangan. Akal atau logika dihubungkan kepada pengembaraan
rasional dalam membangun sistem epistemologi dan pengetahuan manusia. Kebenaran adalah
sebuah objektifitas yang melakukan ujian secara berulang-ulang yang didasarkan atas data. Ini
kemudian menciptakan ilmu-ilmu pasti (positif). Sementara universalitas merupakan suatu kesadaran
untuk mencari aspek essensialisme dibalik perbedaan buatan (artificial), menetapkan pengetahuan
yang absolut dan standard universak dari kebenaran-kebenaran. Perkembangan (progress) dapat
menjadi kunci masa depan yang ideal dengan menggunakan akal dan ilmu-ilmu empiris. Sejarah
dapat difahami sebagai evolusi dari kondisi yang sederhana kearah yang kompleks yang dicapai
secara gradual oleh kesempurnaan rasionalisme, kesempurnaan daya manusia yang terbatas.21
Keyakinan-keyakinan modernisme ini berakar secara historis dalam proyek pencerahan sebagai
sebuah hasil pencerahan barat dengan slogan populernya ”sapere aude” atau being dare to think by your
reason. Kepercayaan yang kuat kepada rasio ini telah melahirkan rasionalisme sehingga modernisme
sangat tergantung kepada konsep rasionalitas atau rasionalisme yang lebih baik.
Danil Miller menjelaskan bahwa Jurgen Habermas memandang Modernitas sebagai sebuah
produk penjajaran dari tiga kejadian, (1) renaissans, (2) reformasi, dan (3) penemuan dunia baru. Tiga
kejadian pokok ini menyebutkan semuanya telah terjadi sekitar awal abad ke 6, yang secara acara
merupakan periode yang sama dimana Wallerstein menyebut permulaan sistem kapitalis dunia. Atas
alasan ini, modernitas dapat dilihat sebagai bagian parsel globalisasi, yaitu proses dimana kapitalisme
melakukan ekspansi. Modernitas, menurut Habermas, secara esensi merupaka sebuah cara berfikir
yang menolak untuk menerima tradisi tanpa refleksi dan evaluasi ulang. Dia menekankan bahwa
modernitas dapat dan meminjam lagi kreteria-kreteria yang mengambil orientasinya dari modelmodel
yang disalurkan dari masa yang lain. Modernitas harus menciptakan normativitas keluar dari
dirinya. Secara jelas, cara berfikir ini berhubungan dengan metode ilmiah dan khususnya mekanisme
yang dimana adopsi teknologi ilmiah mungkin menjadi tantangan aspek-aspek kehidupan sosial dan
21 Denis McCallum, The Death of Truth, (Minnesota: Bethany House Publishers, 1996), p. 28.
kultural. Habermas terlihat memberi dukungan bahwa modernitas benar-benar menjadi tantangan
dan mengganti tradisi.
Sementara Talal Asad menjelaskan dengan tajam dan komprehensif gambaran detail
modernitas sebagai proyek duniawi atau sekularisasi.
Modernitas merupakan sebuah proyek atau bahkan serangkaian proyek-proyek yang saling
berkaitan dimana orang-orang berusaha untuk meraihnya. Proyek ini bertujuan untuk
melakukan institusionalisasi, terkadang membuat saling adu konflik dan sering melibatkan
diri, terhadap sejumlah prinsip-prinsip konstitusioalisme, otonomi moral, demokrasi, hak
asasi manusia, persamaan sipil, industri, konsumerisme, kebebasan pasar, dan sekularisme.
Modernitas menggunakan teknologi yang mengembangkan produksi, alat perang, tour,
hiburan, obat-obatan yang mengembangkan pengalaman baru dari ruang dan waktu yang
baru. Gagasannya ada dimana pengalaman-pengalaman tersebut merupakan kekecewaan
yang mengimplikasi sebuah akses langsung atas realitas, sebuah cara yang membuang jauhjauh
hal-hal yang berbau mitos, magis, dan sakral- yang merupakan sebuah bentuk yang
menonjol dari era modern. Proyek-proyek modern tidak bisa bersama-sama sebagai kesatuan
totalitas, tetapi dapat menjelaskan dengan baik perasaan-perasaan, estetika-estetika, dan
moralitas-moralitas khusus. Modernitas tidaklah semata-mata urusan untuk mengetahu yang
riil tetapi ia juga urusan hidup di dunia. Untuk representasi-representasi yang sekular dan
yang religius dalam modernitas dan modernisasi, negara-negara melakukan mediasi bagi
identitas-identitas, menolong pembentukan perasaan-perasaan, dan menjamin pengalamanpengalaman
manusia.22
1. Respon Pesantren terhadap Modernitas: Kasus Pesantren Tebuireng
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, kita akan mendiskusikan tentang
bagaimana sebuah pesantren bisa tetap eksis dalam mengelola sebuah kebijakan yang otonomi
dengan modernitas zaman yang semakin berkembang. Dalam analisis ini, kita mengambil sampel
Pesantren Tebuireng Jombang sebagai studi kasus. Pesantren Tebu Ireng merupakan representatif
dari sebuah fenomena institusi tradisional yang masih tetap bertahan ditengah modernitas zaman
pada abad 21. Pesantren ini memainkan peranan yang sangat penting sebagai “Parameter” bagi
pesantren-pesantren lain yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Madura sejak Tahun 1910-an. Lalu, hal
yang paling penting dari pesantren ini adalah pesantren sebagai penentu kebijakan dan dalam
perkembangan Jam’iyyah Nahdatul Ulama, yang berdiri sejak 1926, pesantren telah memberikan
banyak sekali kontribusi dan pengaruh yang besar dalam kehidupan Sosial-Politik Indonesia. Dalam
perspektif transformasi sosial-budaya, organisasi merupakan salah satu bentuk citra islam sebagai
“Budaya Islam” dan bukan merupakan “Ideologi Islam”. Dalam perkembangannya, NU merupakan
konsep inkulturisasi dalam upaya mentransformasikan kerangka budaya Indonesia dengan budaya
22 Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, and Modernity, (Stanford: Stanford University Press,
2003), p. 13-14.
Islam itu sendiri. Maka dari itu, Islam di Indonesia dikarakteristikkan sebagai “Islam Indonesia”
bukan “Islam Arab”. Dengan jumlah penganut yang sangat mayoritas, lebih dari 60 juta, NU hadir
sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang mampu mengeksistensikan dirinya sebagai wadah
bagi masyarakat Islam Indonesia dalam menghadapi tantangan modernitas untuk bisa tetap bertahan
menghadapi segala kemungkinan. Yang paling penting, akar dari NU, Pesantren Tebu Ireng, harus
dianalisis untuk memperoleh elemen pasti yang bisa menunjukkan usaha untuk memelihara
autonomi pesantren ditengah arus modernitas.23
Pesantren Tebuireng, bisa dikategorikan sebagai “Pesantren yang termodernisasi”. Eksistensi
pesantren ini di tengah-tengah kawasan pedesaan dikarakteristikkan dengan elemen modernitas
sedemikian rupa sehingga terlihat tidak sepertia biasa. Model kosmopolitan dalam suasana pedesaan
sepertinya kontras dengan uraian dibawah ini:
"Bagaimanapun, mayoritas orang-orang kampung adalah sebagai petani dan aktivitas
perdagangan level kecil. Karakter dari Kelurahan Cukir, kemudian, menjadi sangat tidak
biasa, walaupun kondisi ini merupakan pedesaan, tetapi mengalami juga urbanisasi. Sektor
elit dari masyarakat setempat relatif cosmopolitan meski kebanyakan dari mereka bisa
dikatakan petani yang miskin. Pesantren sendiri memainkan suatu peran yang berlawanan.
Meski harus mempertahankan gagasan konservatif Islam, sesungguhnya, pesantren berperan
memberi kontribusi bagi karakter desa itu sendiri.24
Fakta ini mengemukakan bahwa modernisasi pesantren telah memperkenalkan unsur-unsur
modern yang sepertinya kontras dengan gagasan "solidaritas lingkungan" atau egalitarianisme sosial.
Dilema ini menjadi bagian dari dinamika pesantren. Idealnya itu melibatkan sintesis secara harmonis
antara ekspresi dan spirit, isi dan bentuk, doktrin ideal religius dan performa keduniawian. Jika tidak,
pesantren akan jatuh kedalam keekstrimisan: menjadi terlalu spiritualistik atau terlalu modern yang
berarti sekuler. Ini tidaklah mudah untuk meletakkan keduanya dalam dinamika yang harmonis. Di
sini, peran dari Kyai adalah sangat besar, bersifat menentukan dan berpengaruh. Itu merupakan
kewajiban untuk membingkai unsur-unsur modern dari superioritas tugas-tugas yang religius. Oleh
karena itu, posisi Kyai adalah suatu pelopor dalam mengarahkan kapal dari pesantren untuk
setimbang dan seimbang. Dengan begitu elaboraso peran Kyai adalah perlu.
Pengaruh kepemimpinan Kyai di pesantren menjadi sangat mutlak dan kuat. Pemeliharaan
aspek tradisional dan konservatif adalah perhatian yang utama dalam kepemimpinan Kyai.
Pemeliharaan ini dijaga secara turun temurun. Tentu saja, gagasan untuk " pengembangan" di
pesantren dapat dirasa, tetapi sangat sedikit dan lambat. "Dalam hal-hal tertentu, adalah benar bahwa
23 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition: The Role of Kyai in the Maintainance of Traditional Islam in Java,
(Arizona: Arizona State University, 1999), p. 77-78.
24 Ibid., p. 78.
formulasi-formulasi eksplisit dari keimanan Kyai telah menunjukkan sedikit perkembangan. Namun,
faktanya, struktur bagian dari hidup yang religius mereka telah mengalami pengaturan ulang.25 Ini
berarti bahwa walaupun ada perkembangan internal di pesantren, tetapi apa yang terjadi secara aktual
adalah representasi dari resistensi kiyai dalam menghadapi modernisme Islam dan ide-ide sekuler di
Pulau Jawa di abad ke dua puluh. Perubahan, kemajuan dan progress adalah kategori dari narasi
besar dari modernisme yang cenderung mengikis ”micro-narratives” seperti institusi tradisional-lokal
seperti pesantren. "Tradisi dan Perubahan" adalah gagasan rapuh dan berlawanan. Paling tidak,
semua ini menghadirkan suatu wacana yang panas. Wacana dari tradisi untuk memelihara nilai-nilai
Islam yang asli dimana "perubahan" mengasumsikan elastisitas dan adaptasi tertentu. Mari kita lihat
pernyataan Snouck Hurgronje, seorang Islamolog Belanda yang terkenal, seputar "situasi tradisional"
Islam "yang nampak sangat statis, yang tenggelam ke dalam zaman pertengahan yang lambat, benarbenar
telah mengubah dengan cara-cara fundamental, tetapi perubahan-perubahan ini berangsurangsur,
pelan-pelan, sehingga berkumpul secara berjauhan, bagi otak-otak non Islam, tidak seperti
tempat-tempat yang walaupun mereka meletakkan didepan mata-mata kita, mereka disembunyikan
dari mereka yang tidak hati-hati membuat studi tentang subjek itu (Geertz, 1963: 16).
Di atas semuanya, apa yang diwakili oleh Tebu Ireng adalah peran "kesinambungan". Snouck
Hurgronje menunjukkan secara meyakinkan seolah-olah gambaran dari Islam tradisional adalah
sangat statis. Dia menekankan bahwa jika modernitas adalah sesuatu yang muncul dari ruang hampa;
maka modernitas tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan "kesinambungan"
traditionalitas. Kondisi statis dari unsur-unsur tradisional sebagiannya adalah mitos. Oleh karena itu,
kesinambungan yang meletakkan tradisi dan perubahan justru dihadirkan di pesantren Tebu Ireng
dari semenjak pendiriannya hingga sekarang. Meskipun demikian, kesinambungan didalam wilayah
religius tidaklah gampang sama sekali. Nilai-Nilai religius, dakwah agama, sistem dan unsur-unsur
sosial yang idealistis bidang pendidikan di pesantren bagi seorang Kyai adalah kebaikan dan nilai
yang harus dihormati sebagai "superior" dibanding unsur-unsur modern. Sementara itu, unsur-unsur
sekularisme untuk banyak institusi agama Islam masih dianggap sebagai ancaman serius yang
menghantui. Di Tebuireng, gagasan kesinambungan dan adaptasi terhadap modernitas telah
memunculkan dua Kiyai yang berbeda: moderat dan militan.
Mengingat pesantren Tebuireng termasuk pesantren yang paling berpengaruh di Indonesia
dan pesantren ini telah didukung oleh banyak Kyai, adalah menarik untuk menguji wacana produktif
antara dua jenis dari Kyai. Dalam aspek ini, adalah penting untuk dicatat bahwa dalam menghadapi
25 Ibid., p. 81.
perubahan-perubahan, Tebuireng dilibatkan dalam masalah internal yang memunculkan ide-ide
perdebatan atau modernisasi diantara ulama. Di sini kita lihat sikap terhadap modernitas
memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati. Gagasan seperti adaptasi yang berangsur-angsur
dan aneka pilihan selektif sepertinya adalah lebih masuk akal untuk ulama menggunakannya:
”Tebuireng bergerak pelan-pelan untuk melakukan perubahan dan perubahan-perubahan seperti yang
telah dibuat mempengaruhi organisasi dan manajemen studi dibanding substansi dan spirit mereka.
Sebuah pendidikan yang didasarkan pada suatu tradisi hampir lima ratus tahun usia yang berdiri
sebagai eksponen pengawal dan otoritatif sistem pesantren dan tradisionalisme Islam. ketika para wali
dan eksponen yang berwenang dari pesantren Islam dan sistem traditionalisme tidak bisa dengan
mudah melepaskan layarnya ke sarah setiap angin yang berhembus. Ketika perubahan telah
diperkenalkan, itu berati bukan tanpa perlawanan dari beberapa ulama yang hanya mau menerima
perubahan secara gradual, sementara yang lain tampak lebih lambat dan segan dibanding yang lain.
Tidak semua pesantren, tentu saja, telah mengalami perubahan yang sama. Dalam tradisi pesantren,
ada gap antara mereka yang mengajar pelajaran sekuler dan mereka yang tidak.26
Adalah penting bagi kita untuk menyadari bahwa, dalam usaha keras untuk menjadi sebuah
institusi pendidikan Islam yang lebih termodernisasi, Tebuireng tidak menciptakan suatu gap yang
ekstrim antara tradisionalisme dan modernisme. Dalam pengertian tertentu, adalah tidak perlu
merumuskan kembali doktrin dan prinsip Islam sebagai tantangan budaya besar. Dengan kata lain,
Tebuireng masih dapat mempercayakan tradisi dan praktek agama terhadap doktrin Islam yang
otentik. Dengan kata lain, pengaruh Tebuireng terjaga secara luas bagi diantara kaum tradisional
muslim dalam tingkatan para agamawan yang profesional seperti para Kyai, guru, staff dan santri.
Kekhawatiran yang negatif diantara Kyai tentang pengenalan sekolah-sekolah sekuler di Tebuireng
adalah agak berlebihan. Memang, hal itu tidak merusak secara serius pemeliharaan doktrin-doktrin
islam tradisional. Itu akan, bagaimapun, menjadi absurd untuk menganggap sekularisme sebagai
semata-mata barang impor Barat ke dalam dunia pesantren," kata Professor Gibb yang
berargumentasi bahwa di tiap-tiap peradaban yang dikembangkan, mencakup peradaban Islam
pertengahan, sekularisme ditemukan lebih besar atau lebih sedikit lagi derajat tingkat, baik terbuka
atau sembunyi. Sesungguhnya, para ulama sendiri telah berkontribusi untuk penyebaran sekularisme,
yang bagi dunia Muslim dilakukan oleh golongan para sufi dimana kecenderungan ke keduniawian
diantra golongan-golongan dididik ditiadakan dan dalam upaya memperlemah pengaruh itu, ulama
tidak berhasil meletakkan pengaruh agama lain selain di tempat nya, kecuali ke tingkat dimana
mereka telah melakukan kerjasama dalam komunitas masyarakat baru yang religius.
26 Ibid., p. 110.
Kebanyakan santri-santri dari Islam Jawa terbiasa dengan gagasan-gagasan modern. Dalam
beberapa hal, pengaruh modernisme telah menjadi dominan dalam hidup dan kesadaran mereka.
Dalam pikiran mereka, wacana-wacana modern telah menjadi pusat dan bagian penting dari hidup
mereka. Sementara itu, pengaruh Islam konservatif dalam kehidupan publik secara implisit seakan
menjadi kehilangan otoritas spiritualitas mereka. Fenomena ini adalah umum dalam sebuah wacana
yang sedang bersaing antara traditionalitas dan modernitas. Di dunia pesantren, terutama di
Tebuireng, kita dapat melihat resistensi traditionalitas yang dipertahankan oleh Kyai secara
konsisten. Kekuatan dominan dari ideologi konservatif Kyai Jawa telah membatasi tingkat
modernisme yang diperkenalkan oleh Tebuireng. Sebagai konsekuensinya, penetrasi dari sistem
pendidikan sekuler di Tebuireng telah menimbulkan beberapa reaksi kritis.
2. Permasalahan dalam Otonomi
Pesantren Tebuireng menjadi contoh yang pas bagi problem otonomi di pesantren.
Dikotomi-dikotomi internal dan tajam antara tradisi dan modernitas masih ada. Perspektif tradisional
berusaha untuk memelihara fungsi dari pesantren dalam misinya yang asli, yakni menghasilkan ulama
atau para pemimpin agama. Misi ini masih dipandang sebagai panggilan dan tugas agama. Sedangkan
perspektif modern bertujuan untuk menjadi berorientasi sekuler. Menurut kaum modernis, pesantren
dapat berperan dalam memproduksi santri dalam bingkai misi agama. Bagaimanapun, sejalan dengan
pembedaan dari bekerja di dunia sekuler, pesantren dapat juga menghasilkan santri yang berkualitas
yang dapat melanjutkan studi mereka sebagai insinyur, doktor, pengacara, tentara dan sebagainya
yang berpegang teguah kepada Islam. Di pesantren kontemporer, ada banyak pesantren yang terlibat
dalam pelaksanaan kurikulum nasional sekuler. Ketika mereka menyelesaikan studi mereka di
pesantren, di tingkat sekolah menengah, sebagai contoh, mereka dapat melanjutkan pelajaran sendiri
atau masuk ke universitas. Atau pesantren yang menerapkan subjek agama dan sekuler di level
universitas berharap lulusan mereka akan mengambil peranan penting di birokrasi pemerintah, atau
bisnis swasta atau mengambil bagian di dalam urusan agama, NGO dan sebagainya.27
Jadi, Kyai modernis percaya bahwa dengan pengintegrasian pesantren kepada sistem
pendidikan sekuler, pesantren masih memainkan peran agama tanpa melalaikan teks Islam yang
klasik. Dalam hal ini, pesantren dapat juga memproduksi ulama yang berkualitas, ustadz, dan para
pekerja yang religius. Seperti dikatakan oleh Kyai Syamsuri, "Itu lah mengapa kita tidak menghapus
pengajaran teks agama." Posisi moderat ini adalah juga didukung oleh KH. Hasyim. Terlibat dalam
27 Ibid., p. 112.
perkembangan, pesantren harus membuka dirinya dalam menterjemahkan agama dalam hal-hal etis
sebagai proses integral perkembangan. Dalam suatu konteks yang lebih luas, keterlibatan dunia Islam
ke dunia yang sekuler dipandang sebagai "tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam". Bagaimanapun
Muslim tidak memerlukan modernitas dibanding yang lainnya. Modernitas yang asli terkait
emansipasi manusia, sebuah sistem demokratis dan kedaulatan orang-orang.28 Perdebatan antar Kyai
di pesantren Tebuireng menggambarkan usaha untuk mendamaikan unsur-unsur modernisme dan
traditionalisme di pesantren masih menjadi wacana penting hingga sekarang. Otonomi pesantren
otonomi dari modernitas sangat ditentang, sementara pengenalan unsur-unsur modern ke pesantren
diuji secara luas. Tentu saja, ada suatu masalah dalam mensintesiskan kedua-duanya. Seperti
dinyatakan oleh KH. Haysim, masalah mungkin akan muncul disebabkan faktor psikologis dan
kapasitas intelektual.29
Dari uraian dan dan argument diatas, kita dapat mengidentifikasi bahwa perubahan evolutif
internal di Pesantren Tebuireng sedang terjadi. Ini menguraikan bagaimana pesantren bukanlah
semacam entitas "alien" yang menakutkan. Pesantren berhadapan secara tajam dengan masalah yang
lebih rumit berkenaan dengan masalah transformasiIslam tradisional dalam masyarakat Indonesia
modern tradisional yang ditandai oleh perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politis yang kuat.30
Dalam konteks ini, adalah penting menyoroti peran Kyai. Posisi dan peran Kyai adalah penting
seperti pembuat kebijakan di pesantren. otonomi dan adaptasi budaya dari pesantren dapat menjadi
pekerjaan rumah dan memerlukan pengujian intelektual dari pakar sosiologi dan budaya. Di atas
semuanya, Kyai diharapkan dapat membuat suatu strategi kreatif dalam adaptasi sosial dan kultural
sehingga pesantren dapat memperoleh inspirasi dan menjadi katalisator dari transformasi budaya,
yakni mewarnai masyarakat dengan Islam yang ideal dengan penuh kedamaian dan keadilan.
Pesantren sebagai alat transmisi iman Islam tradisional di tengah masyarakat Jawa telah
mengembangkan ideologi tradisional mereka sendiri yang berakar kuat dalam Mazhab Syafi’i dan
sufisme. Dalam memelihara ideologi Islam tradisional pesantren, Kyai-kiyai Jawa adalah pembela
yang tegas bagi konservatisme Islam. Dalam versi kaum traditionalis, ada unsur-unsur-kunci dalam
menetapkan ideologi: Kyai Jawa adalah para pengikut setia dari Mazhab Syafi’i, ajaran-ajaran Imam
Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di berbagai hal dari teologi Islam dan
ajaran-ajaran Imam Abu Qasim al-Junaid tentang masalah Sufisme. Kyai Jawa menganggap Sufisme
28 Clinton Bennett, Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates, (New York: Continuum, 2005),
p. 41.
29 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 74.
30 Zamakhsyari Dhofier, The Pesantren Tradition, p. 114.
sebagai ajaran yang penting dalam Islam. Ini adalah roh inti untuk pesantren Islam yang berhadapan
dengan spirit modernitas. Adalah menarik, kaum modernis Islam tidak mempunyai spirit tertentu
seperti " ideologi" atau lebih ekstrem lagi semacam praktek-praktek tarekat sebagai bagian dari kaum
traditionalis.
Di sini kita mengidentifikasi pesantren, yang diwakili oleh Tebuireng, sebagai proyeksi dari
pesan reigius ke arah dunia luar modern menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan
persaingan fundamental. Walaupun pesantren membuka dirinya terhadap gagasan dan progress,
tetapi mereka tetap akan melakukannya atas dasar semangat Hadist dan Qur'an. Dalam perspektif
Weberian, agama sebagai sumber tindakan yang dapat memajukan harus dicapai dengan tidak
menjauhi tradisi agama yang benar. Dalam perspektif Kyai, adalah sangat berbahaya melakukan
interpretasi Qur'an dan hadist menurut pemikiran dan nalar individu. Dan penting untuk dicatat
adalah apa yang menjadi karakter pesantren rata-rata dari transmisi pengajaran yang religius turun
temurun. Konsep "transmisi" adalah yang terbaik dan satu-satunya sistem dalam memelihara
konsistensi spirit Hadist dan Qur'an seperti halnya kesatuan ajaran Islam, sehingga semua ini
membangun tradisi kumulatif tentang pengajaran Islam di pesantren. Demikian juga metode
transmisi dijaga seperti rantai yang kuat dan konsisten. Menurut kiyai tradisional, " Apa yang kita
dapat lakukan adalah untuk menemukan jaringan interpretatif yang terbaik dan yang paling sah
dalam rantai ini di setiap generasi". Statemen ini menekankan bahwa rantai transmisi adalah aturan
permainan atau peraturan tentang tradisi Islam di pesantren. Metode ini sepertinya menjadi objek
perhatian utama di masa mendatang dan akan terus dipertahankan dengan serius oleh kiyai
traditionalis. Bagaimana cara menginterpretasikan gagasan religius bagi dunia luar, menurut Kyai
traditionalis, harus menjadi sesuatu dari tradisi yang otoritatif, sebagai produk dari ajaran yang
akumulatif. Dan NU tumbuh berdasar pada tradisi Kyai.31
3. Basis Teologis
a. Tradisionalis vs Islam Modern
Untuk menggali lebih dalam tentang perspektif Weberian seputar motivasi religius di
komunitas pesantren, adalah perlu untuk memahami basis teologis pesantren tentang interpretasi dan
pemahaman kewajiban dan tugas manusia di dunia. Kebetulan, Kyai tradisionalis dan modernis
percaya akan perintah Rasul dalam menjalani dan berlatih hidup di dunia yang tidak sempurna.
Diantara kaum muslim sendiri, perintah Nabi Muhammad berikut sangatlah populer: "Bekerjalah
31 Ibid., p. 166.
untuk kehidupan duniawi mu seolah-olah kamu akan hidup untuk selamanya, dan laksanakanlah
kewajiban agama untuk hidup mu di akhirat seolah-olah kamu akan mati besok.32 Dalam perspektif
Kyai, prestasi material dan kesuksesan duniawi di dunia ini harus disiapkan untuk kehidupan di
akhirat. Menurut teologi Islam, Dakwah spiritual kemanusian di dunia ini menjadi berkah untuk
dunia dan manusia. Dengan mempertimbangkan ketidak sempurnaannya, manusia harus menjalani
hidup sehari-hari di dunia di bawah bimbingan dari Allah. Aspek teologis pesantren yang dihadirkan
kiyai adalah penting untuk memahami pandangan dunia tentang kehidupan duniawi. Pesantren
sebagai institusi agama, bagi banyak orang, dipandang sebagai anti-materialisme untuk memberi
tekanan bagi kehidupan spiritual yang ketat. Aspek-aspek spiritual memberi warna bagi esensi
kehidupan manusia. Zuhud termasuk penting bagi seorang kiyai. Zuhud atau hidup asketis
menghadirkan pandangan hidup kiyai. Kesadaran dan pencarian spiritual umumnya berada
berdampingan dengan penolakan cinta kepada kehidupan di dunia ini. Bagi kiyai, bagaimanapun,
zuhud tidak dimaksudkan untuk memandang kehidupan di dunia ini sebagai musuh spiritual. Orangorang,
kecuali yang anti kehidupan dunia, harus mengembangkan kesadaran yang layak, sejenis cinta
transendental bagi kehidupan duniawi, bukan cinta immanen yang memenjarakan kita di dunia ini.
Aspek cinta yang transendental akan selalu mengingatkan kita bahwa amanah dan amal jariyah adalah
prinsip-prinsip yang baik dalam hubungannya kepada aspek-aspek duniawi menurut keimanan Islam.
Kiyai Syamsuri Tebuirang menjelaskan:
"Jika kamu mempunyai kekayaan, kamu tidak boleh mencintai kekayaan mu dan melalaikan
pandangan hidup zuhud. Kekayaan yang ada hanyalah amanah (kepercayaan) dari Allah untuk kamu
belanjakan demi hidup mu di kemudian hari. Kamu tidak boleh membelanjakan kekayaan mu terlalu
sering dan untuk kepentingan mu. Jika tetangga mu yang tidak mampu untuk membeli daging, ayam,
pakaian yang bagus, dan lain-lain. jangan membelanjakan kekayaan mu untuk itu. Jangan melalaikan
untuk membelanjakan kekayaan mu untuk tujuan agama, bayarlah sedekah mu untuk yang lemah dan
miskin dan yatim piatu, dan untuk amal jariyah (seperti untuk membangun mesjid, dan lain-lain…).33
Dalam kerangka teologi Islam dan pokok agama Islam di Indonesia, hadirnya lembaga
pesantren di Jawa dianggap (1) peran pesantren untuk mewarnai ciri-ciri Islam di Indonesia adalah
strategis dengan pemeliharaan tradisi Kyai sebagai unsur otoritatif. Pada masyarakat Indonesia
sekarang ini, Kyai masih menjadi katalisator (pembawa perubahan) dalam kehidupan keberagamaan
antar Muslim Indonesia. Karena itu, dalam konteks pembaharuan, Kyai telah dipercaya sebagai
penjaga moral dasar masyarakat Muslim Indonesia.34 Pesantren telah tumbuh dan dikembangkan
32 Ibid., p. 170.
33 Ibid., p. 171.
34 Ibid., p. 177.
terutama atas dasar tradisi Kyai, (2) prospek pesantren tidak mudah diprediksi di masa depan. Masa
depan lembaga pesantren tengah menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar: Pertama, tidak semua
pesantren melakukan perubahan di lembaganya dalam menghadapi modernisasi. Tidak ada
konsensus sikap, respon atau interpretasi tentang bagaimana harus memadukan pesantren dengan
modernitas antar Kyai. Tampak bahwa tradisi Kyai tetap dominan dalam mengarahkan dan
menjalankan perahu pesantren. Kedua, meski demikian, jika ada perubahan, perkembangan,
kemajuan dalam kerangka modernisasi di pesantren, semua ini atau sebagian telah diperkenalkan dan
ditangani dengan cara-cara yang sangat hati-hati dan bertahap. Posisi tradisi yang superior atas
modernitas dapat dirumuskan sebagai berikut: “Dalam berjuang untuk menjadi lembaga pendidikan
yang dimodernisasi, lembaga pesantren masih bersikeras untuk mempertahankan hubungan dengan
tradisi Islam ortodok”.35
Namun demikian kita juga harus melihat sisi-sisi lain. Transformasi internal sedang terjadi
melalui sekularisasi yang menembus pesantren. Melalui sumber daya manusia atau staf yang terdidik
dan lulusan dari universitas-universitas sekuler, pesantren telah dilibatkan dalam modernisasi dari
“dalam.” Dan secara langsung atau tidak langsung, pesantren harus memperlengkapi diri dengan
“ketrampilan-ketrampilan sekuler” untuk mengorganisir dan menggunakan sumber-sumber daya
yang mereka miliki. Kekuatan tawar-menawar antara tradisi dan modernitas akan terus bermain
dalam tubuh pesantren. Sementara itu sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas budaya
untuk memainkan fungsi-fungsi budaya, sebagai sumber strategi-strategi budaya yang mengarah pada
perubahan sosial yang damai. Kompetisi yang kuat dalam tubuh pesantren dapat dibandingkan
dengan goncangan budaya dalam penerapan unsur-unsur modernitas pada masyarakat tradisional.
Fenomena “reaksioner” dan bahkan “secara radikal kembali ke tradisi lama” merupakan pola-pola
tanggapan secara umum. Sekali lagi, kata pesantren sedang ditantang:
“Dengan staf pengajar yang lebih tersekulerisasi, sekularisasi pemikiran dan menempatkan
kerohanian dengan pandangan duniawi akan berjalan jauh lebih cepat. Jika ini terjadi, maka
sekularisasi akan mendorong reaksi dari beberapa pihak pesantren untuk kembali ke tradisi
ortodok. Hasil akhirnya sulit untuk diramalkan. Ditetapkan dalam konteks lebih luas, masa
depan tradisi pesantren tentu saja akan bergantung pada bagaimana Kyai merespon
tantangan-tantangan yang muncul dari proses perkembangan masyarakat Indonesia sekarang
ini.”36
35 Ibid., p. 180.
36 Ibid., p. 181.
Masalah ketidakadilan, masalah-masalah sosial, kemiskinan menjadi isu-isu relevan dalam
masyarakat Indonesia di zaman ini. Sebagai sekolah untuk kehidupan, pesantren bisa dianggap
sebagai bentuk pendidikan alternatif yang memiliki banyak tujuan di bidang-bidang yang berbeda
(budaya, ekonomi, sosial dan pendidikan). Sebagai lembaga keagamaan, pesantren dapat menetapkan
dan menerapkan strategi-strategi untuk formasi sosial-budaya dan hubungan material dan produksi
spiritual.37 Inilah sebagian eksistensi untuk menjawab persoalan-persoalan sosial dengan memberi
kewenangan pada masyarakat santri.
Dikotomi antara tradisionalis dan modernis merepresentasikan dinamika pesantren.
Pengenalan kurikulum modern dan perubahan akan mempengaruhi ciri pesantren sebagai sistem
pendidikan dengan banyak tujuan. Pendidikan modern-sekuler pada umumnya dianggap sebagai
“monolitik” dan tersentralisasi, yang kesemuanya bertolak-belakang dengan sifat pesantren sebagai
sistem pendidikan yang bersifat multipel dan terdesentralisasi. Walau demikian, perubahan dan
perkembangan merupakan bentuk dari “kekuatan gaib” yang menembus hampir seluruh lembaga
dan organisasi tradisional, termasuk pesantren. Jalan alternatif bisa dimungkinkan. Jika demikian,
maka Islam modernis tampaknya akan menggantikan Islam tradisionalis dan mengambil posisi yang
menentukan di dunia Islam di masa depan. Perubahan-perubahan mendasar ini dapat dilihat dari
beberapa pesantren yang memperkenalkan kurikulum sekuler atau mengubah bentuk diri sebagai
universitas-universitas sekuler. Peranan Kyai dalam memelihara Islam tradisional, khususnya di Jawa
sedang dipertanyakan, atau paling sedikit merupakan tantangan untuk sebuah riset. Setidaknya ada
dua tantangan, yaitu (1) kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa unsur-unsur dasar pesantren
dikembangkan melalui masa-masa yang panjang, dengan tradisi spiritual yang kuat dan tidak dapat
dipisahkan dari teks-teks klasik Islam. Keterlibatan pesantren di dunia modern memungkinkan
kemungkinan-kemungkinan untuk menghancurkan dan bahkan mengeliminasi beberapa unsur
tradisional seperti adat kebiasaan, nilai-nilai tradisional yang ketat, visi-visi idealistis yang didasarkan
pada doktrin-doktrin religius Islami, (2) apa yang harus dipertimbangkan adalah kemungkinankemungkinan
untuk menerima sebagian dan secara bijak paradigma sosial baru, konvensi-konvensi,
kode-kode moral baru, dsb. ... yang dicirikan oleh “penafsiran modern”. Dan, sejak awal, Kyai telah
memainkan peran kreatif untuk menjembatani dunia nyata dengan “dunia spiritual” (lembaga
pesantren). Akan berharga untuk dicatat bahwa lembaga pesantren memiliki pengalaman matang
dalam menangani dinamika dunia sedemikian rupa sehingga mereka bisa terus hidup dalam masa
waktu yang panjang sampai sekarang ini. Terbukti bahwa pesantren memiliki mekanisme dan
37 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 176.
strateginya sendiri agar tetap hidup. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, diharapkan
pesantren dapat memainkan transformasi budaya pada masyarakat modern sebagai “penjaga” di
bidang-bidang spiritual, sosial, moral dan budaya.
b. Pendekatan Akomodatif
Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti metodologi pemikiran Islam, terutama dalam
menterjemahkan ajaran-ajaran Islam atau teks-teks Islam ke dalam konteksnya. Karena pesantren
merupakan pusat dari transformasi budaya, maka pesantren bisa menjadi lembaga yang secara
mendalam dan secara eksplisit terlibat dalam pertanyaan teks dan konteks. Dalam perspektif
pesantren, Islam seharusnya secara ideal menjadi “penjaga modernitas”. Ada tiga pendekatan dalam
menterjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dunia: Pertama, pendekatan yang cenderung legalistikformalistik.
Hasil dari pendekatan-pendekatan ini akan cenderung hegemonis, kaku dan berpegang
pada kitab suci. Ini berarti Islam di Indonesia seharusnya sama dengan Islam di dunia Arab. Kritik
untuk pendekatan ini adalah bahwa Islam, yang diwakili melalui Qur’an dan Haditz, memiliki
keterbatasan-keterbatasan dalam menterjemahkan pesan-pesan Tuhan dalam konteks budaya yang
dicirikan oleh perubahan dan perkembangan yang terus berjalan dalam ruang dan waktu. Karena itu,
pengetahuan dan tafsiran Al Qur’an dan Hadits seharusnya dihubungkan dengan situasi sosialbudaya.
Kedua, pendekatan yang menekankan akal atau tafsiran rasional melalui teorema-teorema
logis, hukum-hukum sosial dan humanitas. Kemudian, yang ketiga, pendekatan yang memiliki
kepedulian lebih besar tentang mencari ”sifat” atau hakikat di balik syariah, dunia-batin di balik dunia
material-luar. Dan, disamping ketiga pendekatan ini, masih ada kerangka yang memperlihatkan
pentingnya memiliki pendekatan akomodatif yang dicirikan oleh unsur-unsur akulturatif-responsif.
Pendekatan ini cenderung mencoba memahami dan menemukan ideal-ideal moral daripada legalformal.
Apa yang menonjol dan spesial dalam pendekatan akomodatif adalah kemampuan untuk
memahami Islam sebagai kontekstual, fleksibel, respektif dan apresiatif pada budaya-budaya lokal.
“Akomodatif” berarti kemampuan untuk menginternalisasi, mengadaptasi, menyesuaikan, dsb.
Akomodatif berarti juga sebuah proses untuk menciptakan keseimbangan antar banyak unsur tanpa
jatuh ke dalam konflik. Jika Islam dipercaya sebagai agama universal, maka Islam harus akomodatif
untuk banyak unsur di dalam masyarakat: perubahan, kemajuan, konteks sosial-budaya, unsur-unsur
modern dsb....38 Pesantren mewakili semua tugas ini: yaitu menterjemahkan kebajikan-kebajikan dan
nilai-nilai (teks-teks) Islami ke dunia yang sedang berubah, dunia yang termodernisasi, masyarakat
yang semakin berkembang. Pendekatan-pendekatan ini bisa sangat membantu jika ditempatkan di
jalan yang benar dan peran yang proporsional. Jika tidak, jauh dari fungsinya sebagai transformasi
budaya, pesantren akan terperangkap dalam situasi stagnan, atau yang lebih buruk, ke dalam konflik
paradoks, kontradiksi dan bahkan konflik “abadi” antara kaum tradisionalis dan modernis. Satu dari
ide pentingnya adalah dialog budaya: dialog antara Islam dan modernitas, pesantren dan dunia nyata,
teks dan konteks, motivasi agama dan fungsi sosial-budaya.
4. Kerangka Transformasi Sosial-Budaya
Ada banyak hal yang harus dikerjakan dalam memikirkan kembali visi, misi, strategi. Walau
demikian, dalam kerangka berpikir Weberian, pentingnya nilai-nilai religius sebagai dasar fungsifungsi
sosial-budaya pesantren penting untuk ditekankan dan juga dalam menafsirkan-ulang
perubahan-perubahan sosial yang diperkenalkan oleh modernitas ke dunia pesantren. Untuk
menghindari penyerapan unsur-unsur modern yang naif ke dalam lembaga-lembaga pesantren,
mereka seharusnya secara bijak mengembangkan beberapa kerangka dengan melibatkan unsur-unsur,
karakter-karakter dan fungsi-fungsi sejati. Transformasi sosial-budaya berarti keterlibatan pesantren
dalam mempengaruhi dan mewarnai masyarakat dengan ideal-ideal dan kebijakan-kebijakan religius.
Hal tersebut dapat dideskripsi sebagai berikut:
Pertama adalah Dakwah. Penyebaran agama melalui dakwah akan menjadi kerangka utama
dalam setiap eksistensi pesantren di Indonesia. Dakwah ini berfungsi sebagai transformasi budaya
dalam pengertian luas. Dakwah adalah sebuah alat strategis untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam menghadapi isu-isu persoalan sosial, kemanusiaan, pendidikan. Di sini, hadirnya
Kyai identik dengan eksistensi Kyai. Pondok pesantren eksis karena usaha-usaha Kyai. Kita percaya
bahwa Kyai memiliki alasan rasional mereka atau ideal-ideal religius yang dinyatakan melalui
masyarakat pesantren. Ini diyakini sebagai bagian dari kewajiban moral-religius. ”Mereka adalah
penolong dalam hidup, mentransfer dan menyebarkan sistem nilai Islam yang menjadi dasar dan juga
mewariskannya kepada generasi mendatang.” Melalui pesantren, tujuan-tujuan agung ditetapkan,
yaitu ”mentransfer pengetahuan, tradisi, pandangan dunia dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat
38 Baidhawy, dkk (eds.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial, 2003), p. 76.
dan generasi mendatang.”39 Selanjutnya, pesantren, khususnya di Jawa, masih tetap dianggap sebagai
kelompok Jawa pribumi. Memperhatikan bahwa kebanyakan pesantren terdapat di desa-desa yang
tersebar di seluruh Indonesia maka Kyai memiliki peran yang sangat berpengaruh. Mereka
memainkan peran sebagai ”perantara budaya” (cultural broker), untuk menyeimbangkan ”rasionalitas
kota” dan ”kepercayaan desa.” Dengan demikian Kyai dan pesantren pada umumnya diharapkan
dapat mewakili kekuatan budaya dalam memperkuat identitas budaya di dalam proses pembangunan.
Kedua adalah Sekolah Kehidupan. Konsep sekolah kehidupan ini relevan dengan konteks
Indonesia, terutama di wilayah-wilayah pedesaan. Di tangan para Kyai dan santri, konsep ”sekolah
kehidupan” bisa dipertahankan. Dalam prinsipnya, konsep ini juga menjadi bagian dari ”pandangandunia
Islami” atau ”paradigma epistemologis Islam”. Kebalikan dengan paradigma Barat,
Kuntowijoyo mendeskripsi Paradigma Islam di dalam epistemologi Etika Barat:
Periode Sumber Etika
Pengetahuan Barat Dasar post-modern Humanisme - sekuler
Islam Otonom Wahyu Theosentris - Humanisme
Integralistik
Sebaliknya, ilmu pengetahuan integralistik (berarti persatuan antara akal dan wahyu) akan
berkembang menuju integralisme (kesatuan agama dan manusia) melawan kecenderungan
sekularisme di dunia modern dan dunia post modern.40 Konsep sekolah kehidupan meningkatkan
pandangan-dunia integralistik Islam.
Ketiga adalah Pemelihara Budaya. Sejalan dengan fungsi-fungsi spiritual, pesantren sejak dari
awal telah berakar di dalam masyarakat Indonesia. Pesantren mewakili budaya Indonesia, dan juga
budaya Islam. Karena itu, pesantren dan masyarakat santri merupakan ciri menonjol tradisi
pesantren. Bahwa masyarakat santri telah menjadi garda terdepan dalam memelihara pendekatan
budaya yang dapat dilacak dari masa lalu sejak jaman Wali Songo. Dalam pengertian ini, tugas
budaya pesantren dapat dianggap sebagai ekspresi dari ” budaya Islam”. Ide ”pemelihara budaya”
direfleksikan juga dalam tradisi intelektual pesantren. Dalam hal pesantren di Jawa, fungsi pendidikan
39 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 98.
40 Amin Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemologi Islam
dan Umum, (Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003), p. 68-69.
pesantren adalah untuk menegakkan orientasi hidup sebagai ”Muslim Jawa” yang berfungsi sebagai
pandangan-dunia yang meningkatkan hubungan sosial penuh damai dan keselarasan dengan Tuhan
dan alam. Di sini, di dalam konteks ”memelihara budaya, tradisi pesantren telah merangkul juga
unsur-unsur budaya Jawa dengan apa yang kita sebut sebagai ”modeling”. ”Kekuatan modeling sejalan
dengan sistem nilai-nilai Jawa yang dicirikan oleh hubungan paternalistik dan patron-klien - yang ini
semua sangat berakar dalam budaya dan masyarakat Jawa.”41
Keempat adalah Mistisisme Islam (tasawuf) dan aspek Spiritual. Satu dari peran tradisional
pesantren, tentu saja adalah menspiritualkan masyarakat. Inilah model ideal pendidikan spiritual
untuk masyarakat. Sifat lembaga pesantren tidak dapat dipisahkan dari dimensi religius yang memiliki
pusatnya pada spiritualitas. Secara teologis, inti spiritualitas agama adalah unsur-unsur sufi atau
sufisme. Inilah spirit atau semangat yang mewarnai dan mencirikan badan agama. Upaya untuk
mengembangkan pesantren dan adaptasi kreatif ke modernitas akan kehilangan arti otentiknya jika
tidak dikerangkai dalam spiritualitas inti. Keterlibatan pesantren dalam sistem pendidikan sekuler dan
struktur-struktur sekuler harus bersandar pada dasar tradisi spiritual yang berakar dalam dari sufisme.
Sufisme Islam seharusnya menjadi bagian dari tugas yang dikembangkan dalam pesantren oleh
masyarakat santri. Di sini, fungsi budaya pesantren adalah menjadi oasis spiritual, saksi spiritual di
tengah-tengah dunia modern; pesantren seharusnya memiliki kemampuan menjadi ”dinding
kebajikan” dalam menangani modernitas yang cenderung merelativisasi nilai-nilai otentik. Dengan
kata lain, pesantren dapat memainkan peran sebagai gerakan spiritual dengan memperkuat Sufisme.
Menurut Koentjaraningrat, gerakan-gerakan kerohanian Santri bisa diklasifikasikan dalam: (1)
gerakan yang titik beratnya pada mistik (2) gerakan-gerakan puritan yang berpedoman kepada
kembalinya suatu masyarakat keagamaan yang bersifat murni, dan keyakinan serta perilaku agama
serta tradisi islami (3) gerakan-gerakan yang berpedoman pada keyakinan mesianik dan (4) gerakangerakan
yang berpusat pada kegiatan-kegiatan ilmu gaib dan ilmu dukun. Sufisme dikenal dan
dilembagakan di dalam Islam dan disebut sebagai tassawuf. Jika kita amati lebih spesifik, pesantren
telah menjadi sekolah sufisme yang kaya dalam tradisinya dengan apa yang kita sebut sebagai sekolah
tarekat. ”Bergantung pada latar belakang pendidikan dan orientasi guru-pemimpin, pesantren tarekat
termasuk pada tatanan mistik tertentu, dari mana ada beberapa yang mendominasi daerah-daerah
tertentu di Jawa. Sebagai contohnya, tarekat Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Saziliyyah, dan lainlain.
42
41 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004), p. 10-11.
42 Koentjaraningrat, Javanese Culture, (Oxford: Oxford University Press, 1985), p. 406.
Meskipun banyak kritik tentang praktek tarekat seperti menyebarkan sikap-sikap eksklusif,
isolasi yang berlebihan, mengerjakan praktek-praktek magis, syirik, dsb..., tetapi masalah ini benarbenar
adalah tentang penafsiran. Pesantren masih tetap menjadi repertoar dari penafsiran
pengalaman-pengalaman mistik dan memperkuat unsur-unsur mistik sebagai nilai spiritualitas
tertinggi demi menjembatani masyarakat dan dunia modern dengan dunia transendental Ketuhanan.
Secara ideal dan mendasar, pesantren dalam peran-peran ini akan dihormati dan dihargai oleh
masyarakat modern. Hanya Sufisme yang dapat memberikan pengalaman kesejatian, rasa
keseluruhan, dan penyatuan. Sementara itu modernitas cenderung mematerialisasi segalanya,
menekankan instrumen rasionalitas dan menciptakan fragmentasi-fragmentasi di dalam kehidupan
manusia. Masalah sekularisme dapat juga menjadi kesempatan terbaik bagi pesantren untuk
memainkan peran ”keseimbangan kreatif”. Di dalam kerangka pemikiran Peter Berger, pesantren,
melalui unsur-unsur mistiknya, dapat memainkan peran ”de-modernisasi” dengan memberikan
pengalaman keutuhan, rasa totaltias, integritas pengalaman-pengalaman manusia. Modernitas
meningkatkan pengalaman diferensiasi, rasionalisme fungsional, spesialisasi. Bagi banyak orang,
pengalaman-pengalaman modern ini sifatnya pathologi, schizofrenik; sementara itu, sebaliknya,
pengalaman-pengalaman kesatuan dan integritas lebih sehat, natural dan bahkan membebaskan.
Singkatnya, pesantren bisa menjadi gemeinshaft (paguyuban) spiritual yang menawarkan
pengalaman dialog dengan sisi kemanusiaan terdalamnya (kesejatian diri). Yang pada dasarnya
melibatkan unsur-unsur mistis. Hanya dari sufisme, kita bisa mengharapkan munculnya fungsi-fungsi
kenabian dan kritis di dalam lembaga Islami. Faktor-faktor religius sebagai motivasi dasar berakar
dari unsur-unsur tasawuf. Kita dapat berkata bahwa memandang kehidupan sebagai pengamat
kewajiban religius bisa menjadi dasar untuk meningkatkan proyek-proyek kemanusiaan, unsur cinta
sangat besar dapat menghasilkan kesadaran kritis ketidakadilan dan opsi untuk penderitaan, dan
keinginan untuk mengorbankan semuanya demi kesejahteraan masyarakat bisa menjadi layanan bagi
masyarakat lebih luas. Apa yang dinyatakan oleh Kuntowijoyo sebagai ”Paradigma Islam” dalam
epistemologi kemanusiaan dan kemanusiaan integral tampaknya adalah menantang tugas-tugas
budaya pesantren yang dari awal meningkatkan ”sekolah kehidupan”, ”ilmu pengetahuan yang
hidup”. Dalam hal ini, masalah tentang kebajikan kemanusiaan Islami telah menjadi tujuan paling
utama. Kebalikan dengan modernitas, detil-detil modernitas adalah musuh bagi kemanusiaan. Tanpa
mengabaikan sisi-sisi positif modernitas, proyek-proyek modern telah menjadi kontradiksi bagi nilainilai
manusia yang otentik seperti komersialisasi budaya, komodifikasi pendidikan, reduksi nilai-nilai
idealistis hidup melalui kepentingan pragmatis, politisasi budaya, -- erosi nilai-nilai agama, degradasi
moral masyarakat, budaya massa dan sebagainya.”43 Semuanya ini secara langsung dihubungkan
dengan pengaruh modern. Pesantren seharusnya mengambil bagian dalam tugas-tugas budaya
sebagai ”kontra-dubaya” dengan satu atau cara yang lain. Jika tidak, pesantren akan gagal dalam
membimbing masyarakat dengan kebajikan-kebajikan idealistis religius dan akan menjadi seperti
”reruntuhan tradisi besar yang kesepian”.
Kelima adalah peran sosial Pesantren. Fungsi sosial-budaya pesantren secara tradisional diberi
banyak perhatian pada aspek-aspek sosial. Masyarakat santri merupakan perwakilan dari kehidupan
sosial itu sendiri. Manajemen pesantren secara tradisional telah menekankan pendekatan-pendekatan
sosial dan bahkan pendekatan-pendekatan ini tampaknya yang menonjol. Di sini, teori Durkheim
mengingatkan kita akan fungsi dasar agama sebagai alat perekat sosial. Dalam perspektif
Durkhemian, pesantren sangat kuat memainkan peran perekatan sosial dengan merangkul siswasiswa
yang datang dari lapisan sosial dan ethnik berbeda. Fungsi sosial ini akan relevan bagi masa
depan masyarakat Indonesia dan seharusnya diperkuat dengan penguatan kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, pesantren bisa menjadi lembaga pendidikan yang memiliki fungsi untuk
memperkuat sentimen persaudaraan; yang menekankan kebersamaan, atau aspek-aspek kehidupan
bersama.44
Peran sosial yang dikembangkan di pesantren akan relevan dengan masa depan masyarakat
Indonesia untuk alasan yang meningkat, yaitu (1) karakteristik dasar modernitas menyiratkan jenisjenis
fragmentasi sosial, kapitalisasi dan erosi spiritual, (2) kohesi atau perekat sosial adalah masalah
tanggungjawab religius. Pesantren dapat memainkan peran sosial sebagai bagian dari tanggungjawab
religius-moral, (3) pesantren sebagai lembaga agama, tentu saja, memberikan layanan-layanan sosial.
Karena itu pesantren bisa menajadi tempat bagi orang-orang yang mengalami masalah sosial,
masalah psikologis dan bahkan menyediakan pengobatan tradisional dan sebagainya. Inilah lembaga
dengan banyak talenta dan multi-tujuan: Pesantren, disamping menjadi lembaga pendidikan Islami,
secara tradisional memiliki orientasi sosial dalam menyediakan pengobatan tradisional dan
memenuhi peran layanan konsultatif untuk persoalan kehidupan sehari-hari. Layanan sosial ini
menunjukkan keinginan mereka untuk melindungi status, tradisi dan karakteristik mereka sendiri.
Aktor-aktor program sosial-religius ini adalah Kyai dan santri. Mereka menjalankan aksi-aksi sosial
sebagai pembela nilai-nilai sosial Islam. Bentuk-bentuk program dan aktivitas sosial ini berbeda di
43 Amin Abdullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum , p. 68-69.
44 Bryan Turner, Agama dan Teori Sosial: Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara Gelegar
Ideologi-ideologi Kontemporer, (Yogyakarta: IRCISod, 2003), p. 92.
beberapa pesantren. Kita dapat mengamati bahwa upaya-upaya ini akan bergantung pada konteks
dan kemampuan pesantren. ”Berbagai macam upaya dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah
sosial. ”Pesantren Pabelan di Jawa Tengah, misalnya, memberi beasiswa bagi anak-anak miskin yang
hidup di dekat pesantren. Pesantren Darul Falah di Jawa Barat, misalnya, memasukkan program
sosial sebagai tema dasar pendidikannya. Banyak alumni telah menjadi komunitas pada saat
bersamaan. Melalui motivasi agama inilah stimulus paling kuat untuk mengembangkan pesantren,
menanam juga dilihat sebagai aktivitas religius”.45
Semua aktivitas sosial ini dikembangkan oleh pesantren, kepentingan dan motivasi adalah
penyebaran Islam di dalam kerangka sosial. Kegiatan sosial Pesantren pada hakekatnya, termotivasi
secara spiritual. Kegiatan ini berusaha untuk memelihara peran pesanten yang sangat berpengaruh
dalam pengertian sosial-keagamaan dan sosial-politik.
D. Penutup
Pesantren bukanlah sejenis institusi pendidikan saja. Pernyataan ini sering disebut dalam
banyak wacana-wacana tentang pesantren. Hal tersebut bermakna bahwa pesantren memiliki fungsi
dan tugas sosio-kultural. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi ini, pesantren telah terlibat dalam
wacana-wacana modernitas. Modernitas dengan nilai-nilainya memiliki pengaruh dan bahkan
merendahkan nilai-nilai ideal dalam institusi tradisional termasuk pesantren.
Nilai-nilai tradisional agama yang berdasarkan Islam sering mendapat tantangan. Sekolah
untuk kehidupan, kemandirian, tujuan puncak menjadi manusia sempurna, motivasi agama,
menyembah kepada Tuhan, kewajiban agama, dan seterusnya merupakan nilai-nilai ideal dalam
pesantren. Semua ini mendapat tantangan dari motivasi pragmatis dan materialis dalam modernitas
dan sistem pendidikan sekuler. Bagaimanapun, semua ini harus dipandang sebagai tantangan
produktif, momen dan kesempatan yang baik untuk melakukan proses adaptasi kreatif, analisa kritis
untuk mencari sebuah pengembangan dari dalam. Sebagai konklusi, adalah penting untuk
menekankan beberapa fungsi-fungsi sosio-kultural yang dianggap penting dalam konteks berikut:
Pertama, dinamika-dinamika modern mempengaruhi keberadaan pesantren secara
fundamental dan realistis sehingga menyebabkan problem bagi identitas kultural pesantren. Problem
ini dapat dipandang sebagai konsekuensi dan implikasi logis ketika berhubungan dengan modernitas
yang memiliki hal-hal pasti dalam dirinya yang dapat mempengaruhi fungsi-fungsi sosio-kultural
khususnya. Oleh sebab itu, merupakan tantangan bagi dunia pesantren untuk melakukan definisi
45 Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren, p. 112-113.
ulang misi dan fungsi otentik ditengah-tengah modernitas yang meningkat. Sebagai institusi agama,
pesantren dapat menjalankan peranan penting sebagai pencerahan kultural melalui pemberdayaan
nilai-nilai Islam yang otentik.
Kedua, nilai-nilai agama Islam dapat secara produktif menggerakkan dan mendorong
pesantren sebagai institusi untuk mengimplementasikan tugas sosio-kultural dan kerangka kerja
sosial dan juga menyediakan unsur-unsur budaya tandingan dalam menghadapi modernitas dan
perubahan sosial. Dengan kata lain, praktik sosial yang ideal tentang pesantren dipandang secara
inheren sebagai konsekuensi dan hasil doktrin dan motivasi agama Islam. Oleh karena itu, pesantren
sebagai institusi pendidikan dapat menjadi budaya tandingan terhadap unsur-unsur budaya modern
yang merendahkan idealitas spiritual sosial. Fungsi sosio-kultural bermakna bahwa keberadaan
pesantren dapat menjadi ”center of significance”. Pesantren dengan peralatannya dapat menjadi
model pengetahuan non-dualistic dan sekolah kehidupan sebagai simbol kohesi social dan alat
untuk menghadapi perubahan sosial dalam dunia modern.
Ringkasnya, tugas budaya pesantren dapat dilihat sebagai ekspresi islam kultural. Disini, ide
dan gagasan menjaga budaya direfleksikan juga dalam tradisi intelektual pesantren. Dalam beberapa
kasus pesantren di Jawa, fungsi-fungsi pendidikan pesantren adalah untuk orientasi hidup sebagai
muslim jawa yang berfungsi sebagai sebuah pandangan hidup yang mempromosikan relasi sosial
yang damai dan harmoni dengan Tuhan dan alam. Untuk melaksanakan fungsi sosio-kultural, sebuah
pendekatan akomodatif akan menjadi relevan. Diwarnai unsur-unsur akulturatif dan responsif,
pendekatan ini bertujuan untuk menangkap dan meraih ideal moral sebagai institusi spiritual. Sekali
lagi, usaha untuk mengembangkan pesantren dan adaptasi kreatif terhadap modernitas akan
menghilangkan makna otentik bila tidak dibingkai inti sebuah spiritualitas. Disini, fungsi kultural
pesantren menjadi sebuah oasis spiritual, sebuah kesaksian spiritual ditengah-tengah dunia modern.
Pesantren harus memiliki kemampuan untuk menjadi benteng nilai-nilai dalam menghadapi
modernitas yang bertujuan untuk merelativitaskan nilai-nilai otentik. Dengan kata lain, pesantren
dapat memainkan peranan penting sebagai gerakan spiritual dengan memberdayakan unsur-unsur
sufisme atau tasawuf dalam cara-cara yang kreatif. Sehingga, dengan memberdayakan fungsi-fungsi
sosio-kultural secara keseluruhan, pesantren akan mendidik orang-orang dengan sebuah pendidikan
yang holistik.
BIBLIOGRAFI
Abdullah, Amin, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan
Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Abdullah, Taufik, “The Pesantren in Historical Perspective,” in Taufik Abdullah and Sharon
Siddique (ed.), Islam and Society in Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,
1987.
Asad, Talal, Formations of the Secular: Christianity, Islam, and Modernity, Stanford: Stanford
University Press, 2003.
Baidhawy, dkk (eds), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan
Perubahan Sosial, 2003.
Bennett, Clinton, Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates, New York:
Continuum, 2005.
Berger, Peter L, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bruinessen, Martin van, “Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a
Tradition of Religious Learning” in Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the Islands: Oral and
written traditions of Indonesia and the Malay world: Ethnologica Bernica, Berne: University of Berne,
1994.
---- , “Traditionalist’ and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia”, paper presented at the
ISIM workshop on 'The Madrasa in Asia', the Netherlands, 23-24 May 2004.
Dhofier, Zamakhsyari, “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyai in the
Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java,” Ph.D. dissertation, Anthropology,
The Australian National University, 1980.
----, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.
----, The Pesantren Tradition: The Role of Kyai in the Maintainance of Traditional Islam in Java. Arizona:
Arizona State University, 1999.
Hinnells, John R (ed), The Routledge Companion to the Study of Religion, New York: Routledge, 2005.
Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Koentjaraningrat, Javanese Culture, Oxford: Oxford University Press, 1985.
Lukens-Bull, Ronald, "Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era", Journal
of Arabic and Islamic Studies, Vol. 3, 2000.
----, A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java, New York: Palgrave McMillian,
2005.
McCallum, Denis, The Death of Truth, Minnesota: Bethany House Publishers, 1996.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Turner, Bryan, Agama dan Teori Sosial: Rangka-Pikir Sosiologi dalam Membaca Eksistensi Tuhan di antara
Gelegar Ideologi-ideologi Kontemporer, Yogyakarta: IRCISod, 2003.
Qomar, Mujamil, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2006.
Rahardjo, Dawam, (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
----, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1974.
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta:
Safiria Insania, 2003.
Wirosardjono, Soetjipto, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, Berlin:
Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian society for Pesantren and community Development (P3M),
and Technical University Berlin, 1987.
Weber, Max, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, New York: Charles, 1958

Tidak ada komentar:

Posting Komentar