Sang Pecinta Pencipta

Sang Pecinta Pencipta
Mohamad Yasin Yusuf Al Fadholi

Sabtu, 13 Maret 2010

pendamba Tuhan

Oleh : Haidar Bagir (Tulisan diambil dari 'Buku Saku Tasawuf')
Beberapa dekade belakangan ini menyaksikan adanya kebutuhan baru yang besar akan spiritualisme, baik di dunia secara umum maupun di kalangan kaum Muslim. Kebutuhan akan spiritualisme di negara–negara maju sudah lama terasa, dibandingkan dengan di negara–negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan akan spiritualisme itu sudah kuat terasa sejak tahun 1960-an. Hal ini kita bisa lihat dari maraknya budaya hippies, yang memberontak terhadap nilai–nilai kemapanan. Mereka pun mencari–cari alternatif–alternatif baru. Ada yang positif, seperti ketika mereka pergi ke India untuk belajar yoga dan Hinduisme, tetapi tidak sedikit pula yang tampak negatif. Maka bermunculanlah beragam bentuk spiritualisme model kultus–kultus (cults). Misalnya, Alvin Toffler –hampir 20 tahun yang lalu– mencatat adanya lebih dari 4.000 organisasi semacam itu. Umumnya bersifat misterius dan seringkali menuntut ketaatan buta dari pengikutnya. Betapapun juga, semua itu bersumber pada gejala yang itu juga, yakni kecenderungan manusia untuk kembali pada spiritualisme.
Sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, TIME, beberapa tahun yang lalu melaporkan adanya kecenderungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS) yang berdoa ketimbang “berolahraga, pergi ke bioskop, ataupun berhubugan seks”. Kecenderungan akan spiritualisme itu pun makin lama makin meningkat.
Memang, di samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan batin dan kedamaian jiwa. Mencari inspirasi dan kebijakan dari filsafat Timur dan informasi tentang persoalan inner-self menjadi sesuatu yang trendy belakangan ini.

Di Amerika Serikat dan Eropa, karya–karya Jalaluddin Rumi, sufi Persia abad ke- 13, yang dicetak atau berbentuk digital menjadi best-seller. Beberapa festival di Eropa menampilkan pembacaan puisi–puisi Rumi dan musik sufi Qawwali asal Anak Benua India. Pop-star Madonna, aktris Demi Moore, dan Goldie Hawn turut serta mendeklamasikan syair–syair Rumi dalam berbagai kesempatan. Satu asumsi menyebutkan bahwa hasrat yang begitu besar terhadap Rumi merupakan wujud keinginan masyarakat Amerika untuk menemukan life-style alternatif dari dunia modern yang sudah jenuh
Mungkin kita juga akan dikejutkan oleh kenyataan bahwa, menurut Steven Waldman, mantan editor di U.S News & World Report, “God” merupakan salah satu kata kunci (keyword) paling populer pada kebanyakan search engines. Karena alasan itu, seperti diberitakan oleh CNN pada 20 Januari 2000, Waldman bersama Robert Nylen, chief executive pada New England Monthly, mendirikan Beliefnet.com, sebuah situs yang menyediakan berita, grup diskusi, dan features tentang agama–agama dunia.
Bob Jacobson, pimpinan Bluefire Consulting, sebuah penyelenggara jasa konsultasi Internet di Redwood City, California, memperteguh kesimpulan Waldman – Nylen di atas. Dalam berita thestandard.com pada 25 Juni 1999, Jacobson menyatakan bahwa pesona situs–situs pornografi telah melenakan pers untuk melirik lawannya, yakni situs–situs keagamaan. Mungkin kita tidak menduga bahwa di Altavista, salah satu search engine terbesar di dunia, pencarian kata ”porn” hanya menghasilkan 4.794.806 situs, sementara pencarian kata “god” menghasilkan 6.396.150 situs. Pelacakan kata “angel” menghasilkan 1.292.520, sedangkan kata “satan” hanya menghasilkan 295.390.
Menurut laporan CNN, 10 Mei 2000, tahun ini merupakan tahun para pelancong spritual (the year of the spritual traveler). Ribuan orang memenuhi panggilan mistik ( mystic) dan mitis (mythic) untuk meninggalkan rumah guna mengunjungi tempat–tempat “suci”. Kota Assisi di Italia, tempat lahir St. Francis, dan Gereja Basilica menjadi salah satu tujuan. Walikota Assisi, Georgio Bartolini, memperkirakan akan hadirnya jutaan pengunjung di Assisi dan Basilica. ”Kita memperkirakan sebanyak 13 juta pengunjung antara Desember 1999 hingga Januar i 2001, atau 13.000-15.000 pengunjung setiap hari,” kata Bartolini. Tempat lain yang ramai di jadikan tujuan perjalanan suci (pilgrimage) adalah the Dome of the Rock di Jerusalem, Ayer’s Rock atau Uluru di Austaralia.
Jajak pendapat yang diadakan oleh BBC dan di publikasikan pada 20 April 1998 menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat Barat masih membutuhkan agama. Terhadap pertanyaan, “Apakah sekarang ini agama telah menghilang maknanya?” 47% responden menjawab “ya” dan 53% responden menjawab “tidak “. Meski masih perlu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan “agama” dalam jajak pendapat itu, hal itu menunjukan betapa sebetulnya kebutuhan manusia terhadap nilai–nilai ruhani itu tidak pernah hilang sama sekali.
Memang persoalan apa yang dimaksud dengan “agama” atau spiritulitas dalam kebangkitan di Barat ini serta seberapa serius dan mendalam ia dipahami, masih perlu dipersoalkan. Di bawah ini salah satu ilustrasinya.
Beberapa tahun yang lalu telah terbit sebuah buku yang berjudul Celestine Prophecy. Di Indonesia buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (1997). Isinya berkenaan dengan ditemukannya satu manuskrip abad ke-6 SM di Peru, yang bercerita mengenai akan terjadinya pembalikan budaya umat manusia pada abad ke-20 secara besar–besaran dari suatu budaya yang materialistic menjadi budaya yang sangat spiritulalistik. Hal ini terjadi karena adanya rasa sepi di tengah berlimpahan materi yang terdapat dalam masyarakat yang telah maju.
Isi buku Celestine Prophecy, menurut saya biasa–biasa saja, tidak istimewa. Pesan–pesan spritualnya pun tidak ada yang baru. Namun, pada kenyataannya, buku itu laku keras di negara asalnya, yakni Amerika Serikat. Sesungguhnya juga di Indonesia. Bila kita telusuri lebih jauh, hal ini berarti adanya indikasi bahwa masyarakat modern membutuhkan sesuatu yang melampaui rasionalitas. Kemudian, dikarenakan keawamam mereka terhadap tradisi–tradisi spiritulistik agama maka yang sebetulnya sudah berkembang sangat maju maka mereka terkagum–kagum dan terpesona dengan”hanya” sebuah manuskrip kuno biasa–biasa saja yang ditemukan di Peru itu.
Selanjutnya, diperkirakan bahwa mulai tahun 1970–an tasawuf pun mulai berkembang di Amerika Serikat. Banyak tokoh tasawuf yang muncul di negeri ini. Di antaranya adalah tokoh dari India bernama Bawa Muhayyiddin. Kemudian ada Syaikh Fadhlullah Haeri, seorang sufi dari Iran yang mempunyai banyak pengikut. Juga Idries Shah. Selain ketiga nama ini, masih banyak lagi tokoh tasawuf yang ada di sana hingga saat ini.
Kiranya ini semua adalah realisasi dari nubuat (ramalan) William James, seorang psikolog terkemuka abad ke-20. Dalam sebuah bukunya yang terkenal. The Varieties of Religious Experience yang terbit pada tahun–tahun pertama abad ke-20 ini dia menyatakan bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan Kawan Yang Agung (The Great Socius). Tentu Kawan–Agung yang dimaksudkannya itu adalah Tuhan. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa selama manusia itu belum berkawan dengan Kawan Yang Agung itu, Maka selama itu pula ia akan merasakan adanya kekosongan dalam hidupnya. Ia hidup sepi dalam keramaian. Dengan kata lain, boleh jadi temannya banyak dan pergaulannya luas, tetapi sebenarnya ia merasa sepi (hampa).
Di akhir tulisannya, dia menambahkan bahwa meskipun kecenderungan peradaban membawanya ke arah lain, manusia makin lama makin butuh untuk berdoa. Karena lewat doalah ia dapat bercengkerama dengan Kawan–Agungnya itu. Dengan kata lain, ia butuh spiritulisme.
Kita di Indonesia mungkin tertinggal sekitar dua puluh tahun. Di Indonesia kecenderungan akan hal itu baru mulai tampak pada sekitar tahun 1980-an. Kecenderungan ke arah spiritualisme ini terasa makin lama makin kuat. Tanda-tandanya amat kentara. Mulai maraknya penerbitan dan minat orang terhadap buku-buku tasawuf, ketertarikan baru terhadap kelompok–kelompok tarekat dan kajian–kajian tasawuf, hingga fenomena suksesnya berbagai kegiatan zikir. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa orang–orang itu butuh spiritualisme? Spiritulisme macam apa yang seharusnya dikembangkan? Apakah spiritualisme baru bercorak Timur, seperti spiritulitas India atau Cina? Atau Islam? Kenyataannya, kebutuhan orang terhadap tasawuf yakni bentuk spiritulisme Islam makin lama makin besar. Tapi, pertanyaannya tetap, tasawuf macam apa? Apakah tasawuf yang hanya menekankan kepada aspek ruhaniah dan tidak memiliki concern apa–apa terhadap masalah–masalah sosio–ekonomis? Yakni, jenis tasawuf yang selama ini justru dianggap sebagai salah satu sumber kemunduran kaum Muslim selama lebih dari lima abad? Jawabanya, tentu, tidak.
Tasawuf Dipromosikan Kembali
Adalah Imam Ghazali pada abad ke-12, lepas dari beberapa pandangan “ekstrem”-nya, yang berhasil menunjukan ketakterpisahkan cara hidup tasawuf dengan ajaran Islam itu sendiri, setelah sebelumya tasawuf sempat dianggap sebagai bid’ah oleh sebagian kalangan Muslim sendiri. Lebih dari itu, setelah melepaskan asosiasi tasawuf dengan sebagian besar spekulasi filosofis dan praktik–praktik “kemabukan” (sukr), sang Hujjatul Islam berhasil menawarkan tasawuf berbasis syariat yang dipromosikannya sebagai cara hidup keislaman yang paling autentik.
Sayangnya, masa delapan abad perkembangan kaum Muslim setelahnya telah menyeret tasawuf khususya di level akar rumput ke tingkat yang eksesif, dengan diperkenalkannya praktik–praktik pemujaan wali, promosi cara hidup miskin, dan kecaman terhadap kehidupan dunia dalam segala aspeknya. Kelahiran puritanisme Wahabiyyah di Jazirah Arab hanya menggarisbawahi adanya penyelewengan–penyelewengan dalam praktik–praktik sepereti itu dari ajaran Islam sejati. Sayangnya, konflik antara Wahabiyyah dan tasawuf akhirnya hanya menghasilkan pelecehan secara tak semena atas tasawuf, di satu pihak, dan kengototan dengan tasawuf-eksesif di pihak penganut tradisionalnya. Hingga sampailah peradaban umat manusia ke masa pasca modern ini, yang di dalamnya terasa kembali keperluan mendesaak bagi promosi tasawuf di kalangan kaum Muslim.
Pentingnya promosi tasawuf ini dilatarbelakangi oleh, sedikitnya, dua alasan.
Pertama, tasawuf, betapapun juga, adalah salah satu cara pandang terhadap ajaran Islam yang melengkapi cara–cara pandang lainnya, seperti fikih, teologi (kalam), dan filsafat. Ia bukan saja sama sahnya dengan cara–cara pandang yang lain itu, melainkan terbukti merupakan salah satu kebutuhan dalam pemahaman dan penghayatan Islam sebagaimana terbukti oleh sejarahya yang amat panjang, bahkan sejak masa Rasulullah dan para sahabatnya. Di masa kita sekarang bahkan lebih dari di masa-masa lampau, lahir kebutuhan baru terhadap tasawuf mengingat tantangan dan godaan hidup menjadi makin besar. Bersama dengan makin canggihnya perkembangan peradaban manusia, makin banyak pula godaan nafsu yang bisa menggelincirkan orang dari menjalankan cara hidup dan beragama yang baik. Karenanya, kehadiran tasawuf sebagai sebuah wacana dan disiplin untuk melatih orang agar lebih siap dan menghadapi tantangan dan godaan itu menjadi lebih besar.
Di samping itu, manusia modern juga butuh untuk mendapatkan pemuasan bagi dahaga spiritual mereka, di tengah individualisme (nafsi-nafsi) dan materialisme era modern. Agama Kristen, yang memang lebih eksklusif bersifat spiritualistik, kelihatannya banyak mengambil manfaat dari fenomena ini. Jauh sebelum itu, manusia modern malah berpaling kepada Buddhisme (Zen), Hindu dan sebagainya. Sementara Islam modernis yang dominan di masa kini cenderung kering, terlalu rasional, dan berorientasi legal formalistik. Nah, sepertik antara lain dianalisis dengan amat menarik oleh John D.Caputo dalam Agama Cinta, Agama Masa Depan (Mizan Bandung 2003), jika agama dikehendaki agar juga menarik untuk manusia modern, maka penekanan kepada hukum dan aturan (nomos atau, dalam Islam syariat) harus diimbangi oleh penekanan kepada aspek cinta (eros atau, dalam Islam, tasawuf).
Kedua, kita melihat belakangan ini di negeri kita ada upaya-upaya menarik mundur kebudayaan Islam negeri ini ke beberapa abad yang lalu, yakni ke arah Islam yang mistik, klenik perdukunan, dan berbagai bentuk irasionalisme lainnya dengan kedok tasawuf dan tarekat. Sebagai cara meng-counter-nya, kita tak boleh meniru kaum modernis yang mengutuk tasawuf yang ternyata gagal juga membendungnya. Sementara korbannya adalah Islam menjadi kering dan legal formalistik. Sebentuk tasawuf yang bersifat positif perlu kita kembangkan untuk memberikan alternatif cara hidup keruhaniaan yang sehat dan progresif, bukan spiritualisme dekaden dan eksesif sebagaimana tampak dalam kecenderungan sebagian penganut tasawuf masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar