Sang Pecinta Pencipta

Sang Pecinta Pencipta
Mohamad Yasin Yusuf Al Fadholi

Senin, 29 Juni 2015

ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

A.  Pendahuluan
Ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua unit yang berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya agama, menjadikan umat manusia memiliki keimanan sehingga menjadikan hidupnya lebih terarah, beretika, bermoral dan beradab. Sementara itu, ilmu pengetahuan memberikan banyak pengetahuan bagi manusia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, akan memajukan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang serta memberikan kemudahan fasilitas yang sangat menunjang keberlangsungan hidup manusia.
Ilmu pengetahuan dan agama dikatakan sebagai sesuatu yang berbeda, karena mereka memiliki paradigma yang berbeda pula. Pengklasifikasian secara jelas antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat zaman renaissance. Demikian ini menjadi dasar yang kuat sampai pada perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan ilmu pengetahuan berjalan sendiri-sendiri dan tidak beriringan. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Ilmu pengetahuan menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebagai musuh Tuhan.
Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, hubungan ilmu pengetahuan dan agama tidak selalu harmonis dan beriringan. Hubungan agama dan ilmu pengetahuan bukanlah polemik yang baru saja bergulir dalam dunia keilmuwan. Konflik ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sejak pertengahan abad ke 15, agama dan ilmu pengetahuan adalah dua esensi yang sangat berbeda dan bertentangan. Di Eropa, pengetahuan pada saat itu sangat didominasi oleh kekuasaan Gereja yang bertolak pada filsafat Yunani serta kitab Injil mereka. Otoritas tertinggi adalah Gereja. Apabila ilmu pengetahuan tidak sejalan dengan Gereja dan Injil, maka dianggap sesat. Dalam jangka waktu yang relatif lama, masih belum ada solusi yang berhasil untuk mendamaikan keduanya. Banyak ilmuwan yang merasa terbelenggu karena tidak dapat mengembangkan kreatifitas mereka. Mereka mencoba untuk melakukan perubahan dan membebaskan akal agar pengetahuan dapat berkembang dan tidak stagnan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan secara lebih detail. Dimulai dari pemahaman dasar dari ilmu pengetahuan dan agama secara umum, selanjutnya membahas persinggungan antara agama dengan ilmu pengetahuan berdasarkan tipologi-topologi yang berkembang di antara para ilmuan terkait bidang tersebut. Kemudian di akhiri dengan pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan.

B.   Ilmu Pengetahuan
1.      Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ‘Ilm, yang diartikan sebagai pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan dibedakan. Pengetahuan bukan berarti ilmu, sedangkan ilmu merupakan akumulasi pengetahuan. Demikian ini, sebagaimana perbedaan antara sciencedan knowledge dalam bahasa Inggris.[1]
Pada mulanya, cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk pada pengetahuan semata-mata atau pengetahuan mengenai apa saja. Pertumbuhan selanjutnya, pengertian ilmu ini mengalami perluasan arti, sehingga mengarah pada segenap pengetahuan sistematis (systematic knowledge).[2]
Ashley Montagu mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan yang disusun dalam satu sistema yang berasal dari observasi, studi, dan eksperimen untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang diamati.[3]
Sementara itu, Fudyartanta memahami ilmu pengetahuan sebagai susunan yang sistematis dari kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai suatu objek atau masalah yang diperoleh dari pemikiaran yang runtut (hasil logika formil dan logika materiil).[4]
Pada konteks yang sama, The Liang Gie mengartikan ilmu  pengetahuan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gajala-gejala alam, masyarakat dan lain sebagainya, untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.[5]
Dari keterangan-keterangan tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa ilmu pengetahuan ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang keadaan hal-hal yang diselidiki (alam, manusia, dan lain-lain) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran serta pengindraan manusia, yang kebenarannya diuji secara observatif, empiris, riset dan eksperimental.
2.      Metode Ilmu Pengetahuan
Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses panjang. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Selanjutnya, metode ilmiah meliputi suatu rangkaian langkah-langkah yang tertib. Dalam kepustakaan metodologi ilmu, tidak ada kesepakatan pendapat mengenai jumlah, bentuk, dan urutan langkah-langkah yang pasti terkait prosedur ilmiah.
Israel Rose merumuskan metode ilmiah sebagai suatu prosedur khusus dalam ilmu yang mencakup empat langkah:
a.       Ekperimen dan obsevasi atas fenomena-fenomena.
b.      Kesimpulan umum atas langkah pertama.
c.       Kesimpulan khusus atas langkah kedua.
d.      Melakukan verifikasi atas langkah ketiga.[6]
 Sheldon Lachman mengurai metode ilmiah menjadi enam langkah sebagai berikut:
a.       Perumusan hipotesis secara spesifik atau menghadirkan pertanyaan-pertanyaan umum untuk penyelidikan.
b.      Perancangan penyelidikan.
c.       Pengumpulan data-data.
d.      Pengklasifikasian data.
e.       Pengembangan-generalisasi-generalisasi.
f.        Verifikasi hasil, yakni terhadap data dan generalisasi-generalisasi tersebut.[7]
Di sisi lain, Jujun menerapkan kerangka prosedur ilmiah pada enam langkah, yaitu:
a.       Perumusan masalah, yakni berupa pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b.      Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c.       Perumusan hipotesis, yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap  pertanyaan yang diajukan.
d.      Pengujian hipotesis, yakni berupa pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis. Hal itu dihadirkan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e.       Penarikan kesimpulan. Demikian ini merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajuakan tersebut ditolak atau diterima.[8]
Dalam kajiannya terhadap pendapat beberapa tokoh seperti Francis Bacon, J.F Rummel, Elgin F. Hunt dan Winarno Surachmad, Endang Saifuddin Anshari berkesimpulan bahwa proses menuju ilmu atau metode ilmiah dapat disusun menjadi:
a.       Pengumpulan (koleksi) data dan fakta.
b.      Pengamaatan (observasi) data dan fakta.
c.       Pemilihan (seleksi) data dan fakta.
d.      Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta.
e.       Penafsiran (interpretasi) data dan fakta.
f.        Penarikan kesimpulan umum (generalisasi).
g.      Perumusan hipotesa.
h.      Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiric, dan eksperimen.
i.         Penilaian (evaluasi) memerima atau menolak, atau menambah atau merubah hipotesa.
j.        Perumusan ilmu pengetahuan.
k.      Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan.[9]
Dari rangkaian keterangan termaksud di atas, jelaslah bahwa terbentang jalan yang panjang yang dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
3.      Fungsi Ilmu Pengetahuan
Dalam kaitan ini, Deskrates mengungkapkan pernyataan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan tidak lain hanyalah untuk mengetahui serta membedakan antara yang benar dengan yang palsu. Sehingga, dengan itu diketahui dengan jelas perbedaan antara keduanya.[10]
Sejalan dengan pernyataan Deskrates, Sir Richard Gregori berkomentar bahwa ilmu pengetahuan tidak dimaksudkan untuk mendirikan atau merobohkan suatu bagian tertentu dari kepercayaan atau iman, melainkan hanya untuk menguji dengan kritis apa saja yang ada dalam dunia empiris dan untuk mengakui dengan jujur.[11]
Lebih jauh, Fudyartanta menyebutkan sedikitnya empat macam fungsi ilmu pengetahuan, di antaranya yaitu:
a.       Fungsi deskriptif, yakni menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu objek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti.
b.      Fungsi pengembangan, melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru.
c.       Fungsi prediksi, meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya.
d.      Fungsi kontrol, berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.[12]
 Pada kenyataannya, tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknologi. Akibat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Hal tersebut telah mencakup semua bidang, seperti kemudahan dalam bidang transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Demikian ini menjadi logis, karena pada dasarnya hajat manusia akan ilmu disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu:
a.       Ilmu sebagai penunjuk ke jalan lebih baik dalam kehidupan manusia di segala sektor dan aspek.
b.      Ilmu sebagai alat untuk mempermudah jalan hidup manusia dalam menghadapi masalah.[13]

C.   Agama
1.      Pengertian Agama
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan –yakni bahasa Indonesia- agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta. Ia diambil dari dua akar suku kata, yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.[14]
Menurut inti maknanya yang khusus, kata “agama” dapat disamakan dengan religiondalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda. Keduanya berasal dari bahasa Latinreligio, dari akar kara religare yang berati mengikat.[15] Oleh karena itu, ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.[16]
Beralih pada ranah terminologis, Sidi Gazalba mengartikan agama sebagai suatu kepercayaan kepada “Yang Kudus”, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan, serta membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[17]
Hendropuspito memberikan definisi agama sebagai suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya. Sistem tersebut berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.[18]
Lebih jauh, Joachim Wach memahami agama sebagai sistem teoritis, praktis dan sosiologis. Sistem teoritis dalam arti bahwa agama merupakan sistem kepercayaan. Sistem praktis yakni bahwa agama berupa aturan atau kaidah yang mengikat penganutnya. Sedangkan sistem sosiologis berarti bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. Pada intinya, jika salah satu unsur tidak tepenuhi, maka manusia tidak dapat berbicara tentang agama, tetapi hanyalah kecenderungan religius.[19]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila dilihat dengan seksama, istilah-istilah agama bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
2.      Asal Usul Agama
Berbagai macam teori tantang asal mula agama telah dikemukakan oleh para sarjana dari berbagai macam disiplin ilmu, terutama ilmuwan sosial. Mereka telah mencoba meneliti asal usul agama atau menganalisis sejak kapan manusia mengenal agama dan kepercayaan kepada Tuhan. Dengan metode pendekatan yang berbeda, mereka melakukan penelitan terhadap masyarakat yang paling dasar dan paling rendah peradabannya. Dalam asumsi mereka, masyarakat seperti itu merupakan model dari masyarakat awal dari sejarah manusia. Oleh karena itu, agama masyarakat yang diteliti dianggap sebagai tipe agama yang paling awal dalam kehidupan manusia.
Dalam paparan di bawah ini, akan dikemukakan enam teori para ilmuwan yang telah melakukan penelitian tersebut:[20]
a.       Teori Jiwa.
Para penganut teori ini berpendapat, agama yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh makhluk immateri yang disebut jiwa (anima). Pendapat ini diperlopori oleh ilmuan inggris bernama Edward B. Taylor. Ia mengatakan bahwa asal mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa. Mereka memahami adanya mimpi dan kematian. Dari pemahaman ini, mengantarkan mereka kepada pengertian bahwa kedua peristiwa itu –mimpi dan kematian- merupakan bentuk pemisahan antara roh dan tubuh kasar.[21]
Selanjutnya, apabila manusia meninggal dunia, rohnya mampu hidup terus walaupun jasadnya membusuk. Dari sini asal muasal kepercayaan bahwa roh orang yang telah mati itu kekal abadi. Roh orang yang mati dipercayai dapat mengunjungi manusia, dapat menolong manusia, bisa mengganggu kehidupan manusia, dan bisa menjaga manusia yang masih hidup.
Berdasarkan kepercayaan semacam itu, roh menjadi objek penghormatan. Mereka melakukan penyembahan dengan mengadakan berbagai upacara keagamaan seperti doa, sesajen, dan tumbal. Kepercayaan seperti itulah yang kemudian diistilahkan dengan Animisme.
b.      Teori Batas Akal.
Teori ini menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. Teori batas akal ini berasal dari pendapat ilmuwanInggris bernama James G. Rrazer. Menurut Frazer, manusia biasa memecahkan berbagai persoalan hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya.[22]
Dalam banyak kebudayaan di dunia ini, sebagian batas akal manusia masih sempit karena tingkat kebudayaannya yang masih sangat sederhana. Oleh karena itu, berbagai persoalan hidup banyak yang tidak dapat dipecahkan dengan akal mereka. Maka, mereka memecahkan melalui magicatau ilmu ghaib.
Pada mulanya, manusia hanya menggunakan ilmu ghaib untuk memecahkan persoalan hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Lambat laun, terbukti banyak perbuatan magisnya tersebut tidak berhasil. Oleh karena itu, mereka mulai percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan baik dengan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam semesta tersebut. Dengan demikian, hubungan baik ini menyebabkan manusia mulai mempercayai nasibnya kepada kekuatan yang dianggap lebih dari diri mereka. Dari sinilah mulai timbul religi.
c.       Teori Krisis dalam Hidup Individu
Teori ini mengatakan bahwa kelakuan keagamaan manusia itu mulanya muncul untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Teori ini berasal dari M. Crawley dan A. Van Gennep.[23]
Menurut kedua sarjana tersebut, dalam jangka waktu sejarah hidup manusia, manusia mengalami banyak krisis yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis tersebut menjadi objek perhatian manusia serta membuat mereka merasa takut. Betapapun bahagianya manusia, ia harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis tersebut dapat berupa bencana alam seperti banjir atau bancana individu seperti sakit dan mati. Demikian ini sangat sukar dihadapi walapun dengan kekuasaan atau harta benda. Oleh karena itu, manusia butuh sesuatu untuk memperteguh dan menguatkan dirinya. Pada akhrinya manusia mengadakan upacara-upacara sakral. Perbuatan yang berupa upacara-upacara sakral tersebut, disebut sebagai pangkal dari keberagamaan manusia.[24]


d.      Teori Kekuatan Luar Biasa
Teori ini mengatakan bahwa agama dan sikap religius manusia terjadi karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia di lingkungan alam sekelilingnya. Teori ini diperkenalkan oleh ahli antropologi Inggris bernama R. R Marett.[25]
Menurut teori ini bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan manusia ditimbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala dan peristiwa itu berasal, diyakini memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan yang telah dikenal manusia. Kekuatan-kekuatan tersebut disebut sebagai super natural. Kepercayaan terhadap suatu kekuatan sakti tersebut dianggap sebagai awal mula munculnya kecenderungan manusia untuk beragama.
e.       Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini menyatakan bahwa agama yang permulaan itu muncul karena adanya suatu getaran, suatu emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat. Teori ini berasal dari pendapat seorang ilmuwan Perancis, Emile Durkheim. Ia mengemukakan teori baru tentang dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.[26]
f.        Teori Wahyu Tuhan
Teori ini menyatakan bahwa kekuatan religius manusia terjadi karena mendapatkan wahyu dari Tuhan. Teori ini disebut teori revelasi. Pada mulanya, teori ini berasal dari seorang antropolog dan ilmuwan Inggris bernama Andre Lang.[27]


3.      Fungsi Agama
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat lepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi manusia. Berdasarkan pengamatan, dapat disebutkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia ada tiga hal, yakni ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua, manusia lari kepada agama. Demikian ini karena manusia percaya bahwa agama memiliki kasanggupan yang definitif dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan suatu fungsi tertentu kepada agama.
Sedikitnya ada delapan fungsi agama, -sebagaimana yang disebutkan oleh Ishomuddin- yakni:[28]
a.       Fungsi edukatif
Ajaran agama secara yuridis, berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan pada bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
b.      Fungsi penyelamat
Di manapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang meliputi bidang yang luas, adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu, agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral berupa keimanan kepada Tuhan.
c.       Fungsi perdamaian
Melalui tuntunan agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui tobat, pensucian ataupun penebusan dosa.

d.      Fungsi kontrol sosial
Agama oleh para penganutnya, dianggap sebagai suatu norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial, baik secara individu maupun kelompok.
e.       Fungsi pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis, akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan yakni iman. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan terkadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.
f.        Fungsi transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya, kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.
g.      Fungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi penemuan baru.
h.      Fungsi sublimatif
Ajaran agama memberikan jaminan pada segala tindakan manusia baik yang bersifat dunia maupun yang bersifat akhirat. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama bila dilakukan dengan niatan yang tulus, maka dinamakan ibadah yang pada akhirnya mendapat jaminan pahala.




D.  Persamaan dan Perbedaan Antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
1.      Titik Persamaan
Secara umum dikatakan bahwa, baik ilmu pengetahuan ataupun agama bertujuan –sekurang kurangnya berurusan dengang hal yang- sama, yaitu kebenaran.
Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran baik tentang alam, maupun yang di dalamnya berisi manusia dan makhluk hidup yang lain. Sementara agama dengan karakteristiknya sendiri pula, memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, yakni baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.[29]
2.      Titik Perbedaan
Secara dikotomis, sangatlah jelas bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari akal rasional manusia serta kenyataan (empirik). Sementara Agama bersumberkan wahyu dari Tuhan.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empirik), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Sedangkan agama mencari dan menemukan kebenaran (mencari jawaban tentang berbagai persoalan asasi) dengan merujuk pada kitab suci, di mana di dalamnya terkodifikasi kalam Tuhan untuk umat manusia di bumi ini.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai saat ini) serta nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut). Ilmu pengetahuan dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap iman (percaya).[30]
3.      Titik Singgung
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan. Demikian ini karena ilmu pengetahuan terbatas oleh subyeknya (sang penyelidik), obyeknya (baik obyek material maupun forma), juga oleh metodologinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan cenderung lari kepada agama. Demikian ini karena agama memberikan jawaban atas segala permasalahan asasi yang sama sekali tidak mampu dipecahkan ilmu pengetahuan.[31]
Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua persoalan manusia terdapat jawabannya dalam agama. Adapun soal-soal manusia yang tiada jawabannya dalam agama, seperti aturan cek, wesel, media elektronik, menjadi wilayah ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul.

E.   Persinggungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Agama; Sebuah Diskusi Abad Modern
Wacana tentang ilmu pengetahuan (sains) dan agama bisa dikatakan telah menemukan bentuk barunya sekitar empat dasawarsa terakhir ini. Meskipun telah lama dibahas, yakni sejak kemunculan sains sebagai suatu disiplin ilmu modern, namun baru pada beberapa dasawarsa belakangan ini wacana tersebut tumbuh subur secara sistematik. Maksudnya, sebagaimana layaknya suatu bidang kajian, terdapat perdebatan tentang pendekatan, metodologi, ruang lingkupnya dan lain sebagainya.[32]
Dalam pemahaman ini, kalaupun kini bisa disebut sebagai suatu bidang kajian, maka sains dan agama masih berada pada tahap awalnya. Karenanya, karya-karya baru yang ditulis kini pun masih terus berkutat pada bagaimana menarik batas-batas dari bidang yang cukup luas ini, termasuk di dalamnya adalah menetapkan agenda-agenda utamanya, isu-isu yang akan dibahas, serta metodologinya.
Dalam wacana internasional mengenai sains dan agama, maka muncul nama Ian Barbour. Ia mungkin merupakan nama yang paling berpengaruh terhadap maraknya perbincangan wacana tersebut. Demikian ini, karena dialah yang menjadi pionir di bidang tersebut semenjak ia mulai berkarya sekitar tahun 1960-an.[33]
Salah satu yang poluler dari Barbour adalah tipologinya yang menggambarkan empat pandangan mengenai hubungan sains dan agama. Tipologi ini telah diajukan semenjak ia menulis pada tahun 1960-an dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Keempat pandangan itu adalah konflik, independensi, dialog, dan integrasi.[34]
Di bawah ini akan diuraikan empat pandangan tersebut, yakni pendekatan yang telah di ajukan Barbour guna mengkaji wacana modern terkait pergesekan agama dengan sains.
1.      Konflik
Pandangan Konflik ini berawal dari anggapan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan (sains) dan agama adalah saling bertentangan, serta tidak bisa sama sekali dipertemukan.[35]
Banyak pemikir yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains. Bagi seorang ilmuan, bersikap jujur adalah dilema ketika temuan mereka bertentangan dengan kayakinan teologis. Sejarah mencatat, peristiwa penyiksaan Gereja terhadap Galileo pada abad ke 17, serta tersebarnya teologi anti teori evolusi Darwin pada abad 19 dan 20 adalah sebagai bukti bahwa agama tidak bisa sejalan dengan sains.[36]
Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini adalah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya secara tegas, padahal sains bisa melakukan hal itu. Sebagai contoh, agama mencoba bersikap acuh tak acuh dan tidak mau memberi petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain, sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan empiris. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, selalu ada pertentangan (konflik) antara cara-cara pemahaman ilmiah dengan pemahaman keagamaan.
Kaum skeptik sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsiapriori atau keyakinan, sedangkan sains tidak tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu, agama terlalu bersandar pada imajinasi, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, berambisi dan subyektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu berambisi dan objektif.[37] Pernyataan-pernyataan ini tampaknya semakin menambah petunjuk bukti bahwa antara sains dan agama terdapat suatu permusuhan timbal balik yang tidak dapat diatasi (konflik).
2.      Independensi
Pandangan independensi ini menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang serius antara agama dengan sains. Demikian ini karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang berbeda.[38]
Pandangan alternatif ini menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Oleh karena itu, semestinya tidak ada kata konflik antara sains dengan agama. Hal ini karena kedua kubu -baik sains maupun agama- sama-sama memiliki wilayah yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan masing-masing melayani fungsi yang berbeda dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda.[39]
Secara lebih spesifik, para pendukung pandangan ini menekankan bahwa wilayah kerja sains adalah menguji dunia natural secara empiris, sedang wilayah kerja agama ialah mengungkapkan makna terakhir yang melampaui dunia empiris. Sains memusatkan perhatian pada “bagaimana” segala sesuatu terjadi di alam ini, sedangkan agama memusatkan pada “mengapa” sesuatu itu ada (eksis). Sains berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan makna. Sains berurusan dengan masalah-masalah yang dapat dipecahkan, sedangkan agama berurusan dengan misteri yang tak terpecahkan. Sains mencoba manjawab persoalan-persoalan yang menyangkut cara kerja alam, sedangkan agama menjawab tujuan terakhir dari alam. Sains memberi perhatian terhadap kebenaran partikular, sedangkan agama lebih pada penjelasan “mengapa” manusia harus mencari kebenaran.[40] Dengan demikian, tidak diperkenankan -berdasarkan pandangan ini- menilai agama dengan tolok ukur sains, demikian juga sebaliknya. Sebab, pernyataan yang diajukan oleh masing-masing sangatlah berbeda dan isi dari jawaban mereka pun berbeda.
Lebih jauh, pandangan ini menandaskan bahwa hanya dengan menempatkan agama dan sains dalam kubu yang terpisah, maka munculnya konflik di antara kedua kubu dapat dihindari. Oleh karena itu, pendekatan ini beranggapan bahwa seluruh persoalan yang sangat disayangkan antara Galileo dengan Gereja yang terjadi pada beberapa waktu silam, kiranya dapat dihindari jikalau agama tidak menyerobot masuk kedalam suatu wilayah yang dewasa ini diberikan hanya kepada sains.[41]
3.      Dialog
Dalam pandangan dialog, digambarkan bahwa ilmu dan agama memiliki bahasa, metode dan ukuran kebenaran yang masing-masing berbeda. Meskipun keduanya berbeda, namun tidak saling berlawanan bahkan saling mengisi dan menjelaskan satu sama lain. Hubungan dialogis ini berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan.[42]
Pendekatan dialog memandang bahwa sains dan agama tidak dapat disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif. Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan. 
Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada masalah harkat kemanusiaan. Berangkat dari sini, Albert Einstein, pernah mengatakan bahwa “Religion without science is blind, science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh.[43]
Dalam dunia manusia, ada realitas batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya.  Oleh karena itu, dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya masing-masing.
4.      Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog, yakni dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan tentang dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah. Dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini.[44] 
Sejalan dengan Barbour, Haught juga menawarkan tipologi terkait hubungan sains dengan agama. Tipologi yang ditawarkan Haught mencakup konflik, kontras, kontak dan konfirmasi. Menurut Haught, hubungan agama dan sains diawali dengan titik konflik. Sementara itu, untuk mengurangi konflik dilakukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak kontras (berbeda keduanya). Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah berikutnya adalah mangupayakan agar keduanya berdialog (kontak). Setelah tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pemahaman yang benar tentang alam. Selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi (konfirmasi).[45]

F.   Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala yang ada di alam semesta. Hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’an:
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# Ä§RM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó™$# br& (#rä‹àÿZs? ô`ÏB Í‘$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur(#rä‹àÿR$$sù 4 Ÿw šcrä‹àÿZs? žwÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ [46]

Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.

Dalam ayat tersebut Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk berfikir (menggunakan akalnya) dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia.
Allah telah menurunkan mukjizat yang sangat berharga demi keberlangsungan hidup manusia kepada Nabi Muhammad berupa al-Quran. Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang menjadi pedoman hidup serta menyempurnakan kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Al-Quran bukan hanya sekedar kitab suci bagi umat Islam, tetapi al-Quran bersifat universal yakni diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. Al-Quran merupakan rujukan dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Al-Quran bukan kitab sains, tetapi segala pengetahuan tentang sains hendaknya dirujukkan kedalam al-Quran. Al-Quran secara eksplisit telah menerangkan tentang segala apa yang ada dan terjadi di bumi ini dan dengan sains lah manusia membuktikannya. Seorang ilmuwan muslim terkenal yaitu Ibnu Sina mengatakan jikalau sebuah sains disebut sains sejati, yakni apabila ia menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip ilahi.[47]

G.  Kesimpulan
Ilmu pengetahuan ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang keadaan hal-hal yang diselidiki (alam, manusia, dan lain-lain) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran serta pengindraan manusia, yang kebenarannya diuji secara observatif, empiris, riset dan eksperimental.
Agama adalah sebuah kepercayaan di mana di dalamnya terdapat ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan (sains) dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia Agama dan sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak ilmuwan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya.
Ian G. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dan agama melalui Tipologi Sains dan agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi. John Haught juga ikut memetakan hubungan sains dan agama. Tipologinya terdiri dari empat macam pandangan yaitu: konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.
Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala apa yang ada di alam semesta ini. Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi segala pengetahuan tentang sains hendaknya dirujukkan kedalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara eksplisit telah menerangkan tentang segala apa yang ada dan terjadi dibumi ini dan dengan sains lah manusia membuktikannya.
















DAFTAR PUSTAKA

AnshariEndang Saifuddin. 2009. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Bagir, Zainal Abidin. 2006. “Sains dan Agama-Agama; Perbandingan Beberapa Tipologi Mutakhir”, dalam Ilmu, Etika dan Agama. Yogyakarta: CRCS.
Bakar, Osman. 1994. Tauhid dan Sains; Essai-essai tentang Sejarah dan Filsafat Islam Sains. Bandung: Pustaka Hudayah.
Barbour, Ian G. 2002. Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama. terj. E. R. Muhammad. Bandung: Mizan.
Fudyartanta, R.B.S. 1997. Epistemologi; Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberti Yogyakarta.
Gazalba, Sidi. 1978. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Gie, The Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Haught, John F. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog. terj. Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakata: Ghalia Indonesia.
Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Lachman, Sheldon J. 1969. The Foundation of Science. New York: Vantage Press.
Montagu, Ashley. 1959. The Cultured Man. New York: Public Affair Press.
Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Pals, Daniels L. 1996. Seven Theories of Relegion. New York: Oxford University Press.
Rose, Israel H. 1967. A Modern Introduction of College Mathematics. Cambidge: MIT Press.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka Setia.
Soeprapto, Sri. 2007. “Metode Ilmiah”, dalam Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wach, Joachim. 1994. Sociology of Religion. Chicago: The Free Press of Glencoe.



[1]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 35.
[2]Sri Soeprapto, “Metode Ilmiah”, dalam Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 126. Lihat pula: WC. Dampier, A Shorter History of Science(Cleveland: World Publishing, 1966), 67.  
[3]Ashley Montagu, The Cultured Man (New York: Public Affair Press, 1959), 289.
[4]R.B.S Fudyartanta, Epistemologi; Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997), 11.
[5]Lebih jauh, The Liang Gie membagi ciri pokok ilmu menjadi tiga, (1) ilmu sebagai rangkaian kegiatan manusia atau proses (2) ilmu sebagai tata tertip tindakan pikiran atau prosedur (3) ilmu sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau produk. Lihat The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), 89-93.
[6]Israel H. Rose, A Modern Introduction of College Mathematics (Cambidge: MIT Press, 1967), 69.
[7]Sheldon J. Lachman, The Foundation of Science (New York: Vantage Press, 1969), 67-68.
[8]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 128.
[9]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 2009), 63.
[10]Ibid., 60.
[11]Ibid.
[12]R.B.S Fudyartanta, Epistemologi; Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan, 11-14.
[13]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, 172.
[14]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 13.
[15]Ibid.
[16]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[17]Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 103
[18]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 34.
[19]Joachim Wach, Sociology of Religion (Chicago: The Free Press of Glencoe, 1994), 12.
[20]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 24-31. Lihat pula: Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1980); Daniels L. Pals, Seven Theories of Relegion (New York: Oxford University Press, 1996).
[21]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 24.
[22]Daniels L. Pals, Seven Theories of Relegion , 30.
[23]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 27.
[24]Ibid, 27-28.
[25]Daniels L. Pals, Seven Theories of Relegion , 33.
[26]Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 73.
[27]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 30.
[28]Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakata: Ghalia Indonesia, 2002), 54-56.
[29] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 2009), 169.
[30]Ibid., 169-170.
[31]Ibid., 171.
[32]Zainal Abidin Bagir, “Sains dan Agama-Agama; Perbandingan Beberapa Tipologi Mutakhir”, dalam Ilmu, Etika dan Agama (Yogyakarta: CRCS, 2006), 3.
[33]Ibid., 4. Lihat karya Ian Barbour dalam bukunya yang paling penting Religion in an Age of Science (New York: Harper & Row, 1990).
[34]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama, terj. E. R. Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), 47.
[35]Ibid., 40
[36]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgias, (Bandung: Mizan, 2004), 2-3.
[37]Ibid., 5.
[38]Ibid., 1.
[39]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama, 40-41.
[40]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, 12-13.
[41]Ibid., 13.
[42]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama, 74.
[43]Ibid., 76.
[44]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama, 82.
[45]John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, 1-2.
[46]Al-Qur-a>n, 55 (al-Rah}ma>n): 33.

[47]Osman Bakar, Tauhid dan Sains; Essai-essai tentang Sejarah dan Filsafat Islam Sains (Bandung: Pustaka Hudayah, 1994), 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar