ILMU
PENGETAHUAN DAN AGAMA
A. Pendahuluan
Ilmu
pengetahuan dan agama merupakan dua unit yang berbeda, namun keduanya sama-sama
memiliki peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya
agama, menjadikan umat manusia memiliki keimanan sehingga menjadikan hidupnya
lebih terarah, beretika, bermoral dan beradab. Sementara itu, ilmu pengetahuan
memberikan banyak pengetahuan bagi manusia. Dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan, akan memajukan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang serta
memberikan kemudahan fasilitas yang sangat menunjang keberlangsungan hidup
manusia.
Ilmu
pengetahuan dan agama dikatakan sebagai sesuatu yang berbeda, karena mereka
memiliki paradigma yang berbeda pula. Pengklasifikasian secara jelas antara
ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat
zaman renaissance. Demikian ini menjadi dasar yang kuat sampai pada
perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan ilmu pengetahuan berjalan
sendiri-sendiri dan tidak beriringan. Oleh karena itu, tidak heran jika
kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Ilmu pengetahuan menuduh agama
ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan sebagai musuh Tuhan.
Sepanjang
sejarah kehidupan umat manusia, hubungan ilmu pengetahuan dan agama tidak
selalu harmonis dan beriringan. Hubungan agama dan ilmu pengetahuan bukanlah
polemik yang baru saja bergulir dalam dunia keilmuwan. Konflik ini telah ada
sejak beberapa abad yang lalu. Sejak pertengahan abad ke 15, agama dan ilmu
pengetahuan adalah dua esensi yang sangat berbeda dan bertentangan. Di Eropa,
pengetahuan pada saat itu sangat didominasi oleh kekuasaan Gereja yang bertolak
pada filsafat Yunani serta kitab Injil mereka. Otoritas tertinggi adalah
Gereja. Apabila ilmu pengetahuan tidak sejalan dengan Gereja dan Injil, maka
dianggap sesat. Dalam jangka waktu yang relatif lama, masih belum ada solusi
yang berhasil untuk mendamaikan keduanya. Banyak ilmuwan yang merasa
terbelenggu karena tidak dapat mengembangkan kreatifitas mereka. Mereka mencoba
untuk melakukan perubahan dan membebaskan akal agar pengetahuan dapat
berkembang dan tidak stagnan.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara agama dengan ilmu
pengetahuan secara lebih detail. Dimulai dari pemahaman dasar dari ilmu
pengetahuan dan agama secara umum, selanjutnya membahas persinggungan antara
agama dengan ilmu pengetahuan berdasarkan tipologi-topologi yang berkembang di
antara para ilmuan terkait bidang tersebut. Kemudian di akhiri dengan pandangan
Islam terhadap ilmu pengetahuan.
B. Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Kata
ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni ‘Ilm, yang diartikan sebagai
pengetahuan. Dalam filsafat, ilmu dan pengetahuan dibedakan. Pengetahuan bukan
berarti ilmu, sedangkan ilmu merupakan akumulasi pengetahuan. Demikian ini,
sebagaimana perbedaan antara sciencedan knowledge dalam
bahasa Inggris.[1]
Pada
mulanya, cakupan ilmu (science) secara etimologis menunjuk pada
pengetahuan semata-mata atau pengetahuan mengenai apa saja. Pertumbuhan
selanjutnya, pengertian ilmu ini mengalami perluasan arti, sehingga mengarah
pada segenap pengetahuan sistematis (systematic knowledge).[2]
Ashley
Montagu mendefinisikan ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan yang disusun dalam
satu sistema yang berasal dari observasi, studi, dan eksperimen untuk
menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang diamati.[3]
Sementara
itu, Fudyartanta memahami ilmu pengetahuan sebagai susunan yang sistematis dari
kenyataan-kenyataan ilmiah mengenai suatu objek atau masalah yang diperoleh
dari pemikiaran yang runtut (hasil logika formil dan logika materiil).[4]
Pada
konteks yang sama, The Liang Gie mengartikan ilmu pengetahuan sebagai
rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode
berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sistematis mengenai gajala-gejala alam, masyarakat dan lain
sebagainya, untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh kebenaran, memperoleh
pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.[5]
Dari
keterangan-keterangan tersebut, maka dapat dirumuskan bahwa ilmu pengetahuan
ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai
kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang keadaan
hal-hal yang diselidiki (alam, manusia, dan lain-lain) sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran serta pengindraan manusia, yang kebenarannya diuji
secara observatif, empiris, riset dan eksperimental.
2. Metode Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses panjang. Tidak semua
pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang
dinamakan dengan metode ilmiah.
Selanjutnya,
metode ilmiah meliputi suatu rangkaian langkah-langkah yang tertib. Dalam
kepustakaan metodologi ilmu, tidak ada kesepakatan pendapat mengenai jumlah,
bentuk, dan urutan langkah-langkah yang pasti terkait prosedur ilmiah.
Israel
Rose merumuskan metode ilmiah sebagai suatu prosedur khusus dalam ilmu yang
mencakup empat langkah:
a. Ekperimen
dan obsevasi atas fenomena-fenomena.
b. Kesimpulan
umum atas langkah pertama.
c. Kesimpulan
khusus atas langkah kedua.
d. Melakukan
verifikasi atas langkah ketiga.[6]
Sheldon
Lachman mengurai metode ilmiah menjadi enam langkah sebagai berikut:
a. Perumusan
hipotesis secara spesifik atau menghadirkan pertanyaan-pertanyaan umum untuk
penyelidikan.
b. Perancangan
penyelidikan.
c. Pengumpulan
data-data.
d. Pengklasifikasian
data.
e. Pengembangan-generalisasi-generalisasi.
f. Verifikasi
hasil, yakni terhadap data dan generalisasi-generalisasi tersebut.[7]
Di
sisi lain, Jujun menerapkan kerangka prosedur ilmiah pada enam langkah, yaitu:
a. Perumusan
masalah, yakni berupa pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
b. Penyusunan
kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis. Kerangka berfikir ini disusun
secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c. Perumusan
hipotesis, yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan.
d. Pengujian
hipotesis, yakni berupa pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis.
Hal itu dihadirkan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
e. Penarikan
kesimpulan. Demikian ini merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajuakan
tersebut ditolak atau diterima.[8]
Dalam
kajiannya terhadap pendapat beberapa tokoh seperti Francis Bacon, J.F Rummel,
Elgin F. Hunt dan Winarno Surachmad, Endang Saifuddin Anshari berkesimpulan
bahwa proses menuju ilmu atau metode ilmiah dapat disusun menjadi:
a. Pengumpulan
(koleksi) data dan fakta.
b. Pengamaatan
(observasi) data dan fakta.
c. Pemilihan
(seleksi) data dan fakta.
d. Penggolongan
(klasifikasi) data dan fakta.
e. Penafsiran
(interpretasi) data dan fakta.
f. Penarikan
kesimpulan umum (generalisasi).
g. Perumusan
hipotesa.
h. Pengujian
(verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiric, dan eksperimen.
i. Penilaian
(evaluasi) memerima atau menolak, atau menambah atau merubah hipotesa.
j. Perumusan
ilmu pengetahuan.
k. Perumusan
dalil atau hukum ilmu pengetahuan.[9]
Dari
rangkaian keterangan termaksud di atas, jelaslah bahwa terbentang jalan yang
panjang yang dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan
ilmiah atau ilmu pengetahuan.
3. Fungsi Ilmu
Pengetahuan
Dalam
kaitan ini, Deskrates mengungkapkan pernyataan bahwa mempelajari ilmu
pengetahuan tidak lain hanyalah untuk mengetahui serta membedakan antara yang
benar dengan yang palsu. Sehingga, dengan itu diketahui dengan jelas perbedaan
antara keduanya.[10]
Sejalan
dengan pernyataan Deskrates, Sir Richard Gregori berkomentar bahwa ilmu
pengetahuan tidak dimaksudkan untuk mendirikan atau merobohkan suatu bagian
tertentu dari kepercayaan atau iman, melainkan hanya untuk menguji dengan
kritis apa saja yang ada dalam dunia empiris dan untuk mengakui dengan jujur.[11]
Lebih
jauh, Fudyartanta menyebutkan sedikitnya empat macam fungsi ilmu pengetahuan,
di antaranya yaitu:
a. Fungsi
deskriptif, yakni menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu objek atau
masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti.
b. Fungsi
pengembangan, melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu
pengetahuan yang baru.
c. Fungsi
prediksi, meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga
manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya.
d. Fungsi
kontrol, berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.[12]
Pada
kenyataannya, tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
pada ilmu dan teknologi. Akibat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Hal
tersebut telah mencakup semua bidang, seperti kemudahan dalam bidang
transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan, pendidikan dan lain
sebagainya. Demikian ini menjadi logis, karena pada dasarnya hajat manusia
akan ilmu disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu:
a. Ilmu
sebagai penunjuk ke jalan lebih baik dalam kehidupan manusia di segala sektor
dan aspek.
b. Ilmu
sebagai alat untuk mempermudah jalan hidup manusia dalam menghadapi masalah.[13]
C. Agama
1. Pengertian Agama
Berdasarkan
sudut pandang kebahasaan –yakni bahasa Indonesia- agama dianggap sebagai kata
yang berasal dari bahasa sansekerta. Ia diambil dari dua akar suku kata, yaitu
“a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung
pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia
agar tidak kacau.[14]
Menurut
inti maknanya yang khusus, kata “agama” dapat disamakan dengan religiondalam
bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda. Keduanya berasal
dari bahasa Latinreligio, dari akar kara religare yang
berati mengikat.[15] Oleh karena itu, ajaran-ajaan agama
memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap
terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.[16]
Beralih
pada ranah terminologis, Sidi Gazalba mengartikan agama sebagai suatu
kepercayaan kepada “Yang Kudus”, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam
bentuk ritus, kultus dan permohonan, serta membentuk sikap hidup berdasarkan
doktrin tertentu.[17]
Hendropuspito
memberikan definisi agama sebagai suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya. Sistem tersebut berporos pada kekuatan-kekuatan
non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi
diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.[18]
Lebih
jauh, Joachim Wach memahami agama sebagai sistem teoritis, praktis dan
sosiologis. Sistem teoritis dalam arti bahwa agama merupakan sistem
kepercayaan. Sistem praktis yakni bahwa agama berupa aturan atau kaidah yang
mengikat penganutnya. Sedangkan sistem sosiologis berarti bahwa agama mempunyai
sistem perhubungan dan interaksi sosial. Pada intinya, jika salah satu unsur
tidak tepenuhi, maka manusia tidak dapat berbicara tentang agama, tetapi
hanyalah kecenderungan religius.[19]
Berdasarkan
pemaparan di atas, bila dilihat dengan seksama, istilah-istilah agama bermuara
kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu
mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan
muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia.
2. Asal Usul Agama
Berbagai
macam teori tantang asal mula agama telah dikemukakan oleh para sarjana dari
berbagai macam disiplin ilmu, terutama ilmuwan sosial. Mereka telah mencoba
meneliti asal usul agama atau menganalisis sejak kapan manusia mengenal agama
dan kepercayaan kepada Tuhan. Dengan metode pendekatan yang berbeda, mereka
melakukan penelitan terhadap masyarakat yang paling dasar dan paling rendah
peradabannya. Dalam asumsi mereka, masyarakat seperti itu merupakan model dari
masyarakat awal dari sejarah manusia. Oleh karena itu, agama masyarakat yang
diteliti dianggap sebagai tipe agama yang paling awal dalam kehidupan manusia.
Dalam
paparan di bawah ini, akan dikemukakan enam teori para ilmuwan yang telah
melakukan penelitian tersebut:[20]
a. Teori
Jiwa.
Para
penganut teori ini berpendapat, agama yang paling awal bersamaan dengan pertama
kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk
materi, tetapi juga oleh makhluk immateri yang disebut jiwa (anima).
Pendapat ini diperlopori oleh ilmuan inggris bernama Edward B. Taylor. Ia
mengatakan bahwa asal mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia
akan adanya roh atau jiwa. Mereka memahami adanya mimpi dan kematian. Dari
pemahaman ini, mengantarkan mereka kepada pengertian bahwa kedua peristiwa itu
–mimpi dan kematian- merupakan bentuk pemisahan antara roh dan tubuh kasar.[21]
Selanjutnya,
apabila manusia meninggal dunia, rohnya mampu hidup terus walaupun jasadnya
membusuk. Dari sini asal muasal kepercayaan bahwa roh orang yang telah mati itu
kekal abadi. Roh orang yang mati dipercayai dapat mengunjungi manusia, dapat
menolong manusia, bisa mengganggu kehidupan manusia, dan bisa menjaga manusia
yang masih hidup.
Berdasarkan kepercayaan semacam itu, roh menjadi objek
penghormatan. Mereka melakukan penyembahan dengan mengadakan berbagai upacara
keagamaan seperti doa, sesajen, dan tumbal. Kepercayaan seperti itulah yang
kemudian diistilahkan dengan Animisme.
b. Teori
Batas Akal.
Teori ini
menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami
gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. Teori batas akal ini berasal
dari pendapat ilmuwanInggris bernama James
G. Rrazer. Menurut Frazer, manusia biasa memecahkan berbagai persoalan hidupnya
dengan akal dan sistem pengetahuannya.[22]
Dalam
banyak kebudayaan di dunia ini, sebagian batas akal manusia masih sempit karena tingkat kebudayaannya yang
masih sangat sederhana. Oleh karena itu, berbagai persoalan hidup banyak yang
tidak dapat dipecahkan dengan akal mereka. Maka, mereka memecahkan
melalui magicatau ilmu ghaib.
Pada
mulanya, manusia hanya menggunakan ilmu ghaib untuk memecahkan persoalan
hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Lambat laun,
terbukti banyak perbuatan magisnya tersebut tidak berhasil. Oleh karena itu,
mereka mulai percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh makhluk-makhluk halus
yang lebih berkuasa daripada manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan baik
dengan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam semesta tersebut. Dengan
demikian, hubungan baik ini menyebabkan manusia mulai mempercayai nasibnya
kepada kekuatan yang dianggap lebih dari diri mereka. Dari sinilah mulai timbul
religi.
c. Teori
Krisis dalam Hidup Individu
Teori ini
mengatakan bahwa kelakuan keagamaan manusia itu mulanya muncul untuk menghadapi
krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Teori ini berasal
dari M. Crawley dan A. Van Gennep.[23]
Menurut
kedua sarjana tersebut, dalam jangka waktu sejarah hidup manusia, manusia
mengalami banyak krisis yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis tersebut
menjadi objek perhatian manusia serta membuat mereka merasa takut. Betapapun
bahagianya manusia, ia harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya
krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis tersebut dapat berupa bencana alam
seperti banjir atau bancana individu seperti sakit dan mati. Demikian ini
sangat sukar dihadapi walapun dengan kekuasaan atau harta benda. Oleh karena
itu, manusia butuh sesuatu untuk memperteguh dan menguatkan dirinya. Pada
akhrinya manusia mengadakan upacara-upacara sakral. Perbuatan yang berupa
upacara-upacara sakral tersebut, disebut sebagai pangkal dari keberagamaan
manusia.[24]
d. Teori
Kekuatan Luar Biasa
Teori ini
mengatakan bahwa agama dan sikap religius manusia terjadi karena adanya
kejadian luar biasa yang menimpa manusia di lingkungan alam sekelilingnya.
Teori ini diperkenalkan oleh ahli antropologi Inggris bernama R. R Marett.[25]
Menurut
teori ini bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan manusia ditimbulkan oleh
suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa
yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. Alam tempat gejala dan
peristiwa itu berasal, diyakini memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan yang
telah dikenal manusia. Kekuatan-kekuatan tersebut disebut sebagai super
natural. Kepercayaan terhadap suatu kekuatan sakti tersebut dianggap
sebagai awal mula munculnya kecenderungan manusia untuk beragama.
e. Teori
Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini
menyatakan bahwa agama yang permulaan itu muncul karena adanya suatu getaran,
suatu emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh
rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat. Teori ini berasal dari pendapat
seorang ilmuwan Perancis, Emile Durkheim. Ia mengemukakan teori baru tentang
dasar-dasar agama yang sama sekali berbeda dengan teori-teori yang pernah
dikembangkan oleh para ilmuwan sebelumnya.[26]
f. Teori
Wahyu Tuhan
Teori ini
menyatakan bahwa kekuatan religius manusia terjadi karena mendapatkan wahyu
dari Tuhan. Teori ini disebut teori revelasi. Pada mulanya, teori ini berasal
dari seorang antropolog dan ilmuwan Inggris bernama Andre Lang.[27]
3. Fungsi Agama
Pemahaman
mengenai fungsi agama tidak dapat lepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi
manusia. Berdasarkan pengamatan, dapat disebutkan bahwa tantangan-tantangan
yang dihadapi manusia ada tiga hal, yakni ketidakpastian, ketidakmampuan, dan
kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua, manusia lari kepada agama. Demikian ini
karena manusia percaya bahwa agama memiliki kasanggupan yang definitif dalam
menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan suatu fungsi tertentu
kepada agama.
Sedikitnya
ada delapan fungsi agama, -sebagaimana yang disebutkan oleh Ishomuddin- yakni:[28]
a. Fungsi
edukatif
Ajaran
agama secara yuridis, berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan
larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan pada bimbingan agar pribadi
penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama
masing-masing.
b. Fungsi
penyelamat
Di manapun
manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang
meliputi bidang yang luas, adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama.
Keselamatan yang diberikan agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang
meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu,
agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral
berupa keimanan kepada Tuhan.
c. Fungsi
perdamaian
Melalui
tuntunan agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian
batin. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila
seseorang pelanggar telah menebus dosanya melalui tobat, pensucian ataupun
penebusan dosa.
d. Fungsi
kontrol sosial
Agama oleh
para penganutnya, dianggap sebagai suatu norma, sehingga dalam hal ini agama
dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial, baik secara individu maupun
kelompok.
e. Fungsi
pemupuk rasa solidaritas
Para
penganut agama yang sama secara psikologis, akan merasa memiliki kesamaan dalam
satu kesatuan yakni iman. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam
kelompok maupun perorangan, bahkan terkadang dapat membina rasa persaudaraan
yang kokoh.
f. Fungsi
transformatif
Ajaran
agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya,
kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang
dianut sebelumnya.
g. Fungsi
kreatif
Ajaran
agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan
saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang
lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup
yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi penemuan baru.
h. Fungsi
sublimatif
Ajaran
agama memberikan jaminan pada segala tindakan manusia baik yang bersifat dunia
maupun yang bersifat akhirat. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan
dengan norma-norma agama bila dilakukan dengan niatan yang tulus, maka
dinamakan ibadah yang pada akhirnya mendapat jaminan pahala.
D. Persamaan dan
Perbedaan Antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
1. Titik
Persamaan
Secara
umum dikatakan bahwa, baik ilmu pengetahuan ataupun agama bertujuan –sekurang
kurangnya berurusan dengang hal yang- sama, yaitu kebenaran.
Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran baik tentang alam, maupun yang di dalamnya berisi manusia dan makhluk
hidup yang lain. Sementara agama dengan karakteristiknya sendiri pula,
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, yakni
baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.[29]
2. Titik Perbedaan
Secara
dikotomis, sangatlah jelas bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari akal rasional
manusia serta kenyataan (empirik). Sementara Agama bersumberkan wahyu dari
Tuhan.
Ilmu
pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman
(empirik), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Sedangkan agama
mencari dan menemukan kebenaran (mencari jawaban tentang berbagai persoalan
asasi) dengan merujuk pada kitab suci, di mana di dalamnya terkodifikasi kalam
Tuhan untuk umat manusia di bumi ini.
Kebenaran
ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai saat ini) serta nisbi
(relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut). Ilmu
pengetahuan dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama
dimulai dengan sikap iman (percaya).[30]
3. Titik
Singgung
Tidak
semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu
pengetahuan. Demikian ini karena ilmu pengetahuan terbatas oleh subyeknya (sang
penyelidik), obyeknya (baik obyek material maupun forma), juga oleh
metodologinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan cenderung lari kepada agama.
Demikian ini karena agama memberikan jawaban atas segala permasalahan asasi
yang sama sekali tidak mampu dipecahkan ilmu pengetahuan.[31]
Namun
demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua persoalan manusia terdapat
jawabannya dalam agama. Adapun soal-soal manusia yang tiada jawabannya dalam
agama, seperti aturan cek, wesel, media elektronik, menjadi wilayah ilmu
pengetahuan dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul.
E. Persinggungan
Antara Ilmu Pengetahuan dan Agama; Sebuah Diskusi Abad Modern
Wacana
tentang ilmu pengetahuan (sains) dan agama bisa dikatakan telah menemukan
bentuk barunya sekitar empat dasawarsa terakhir ini. Meskipun telah lama
dibahas, yakni sejak kemunculan sains sebagai suatu disiplin ilmu modern, namun
baru pada beberapa dasawarsa belakangan ini wacana tersebut tumbuh subur secara
sistematik. Maksudnya, sebagaimana layaknya suatu bidang kajian, terdapat perdebatan
tentang pendekatan, metodologi, ruang lingkupnya dan lain sebagainya.[32]
Dalam
pemahaman ini, kalaupun kini bisa disebut sebagai suatu bidang kajian, maka
sains dan agama masih berada pada tahap awalnya. Karenanya, karya-karya baru
yang ditulis kini pun masih terus berkutat pada bagaimana menarik batas-batas
dari bidang yang cukup luas ini, termasuk di dalamnya adalah menetapkan
agenda-agenda utamanya, isu-isu yang akan dibahas, serta metodologinya.
Dalam
wacana internasional mengenai sains dan agama, maka muncul nama Ian
Barbour. Ia mungkin merupakan nama yang
paling berpengaruh terhadap maraknya perbincangan wacana tersebut. Demikian
ini, karena dialah yang menjadi pionir di bidang tersebut semenjak ia mulai
berkarya sekitar tahun 1960-an.[33]
Salah satu yang poluler dari Barbour adalah tipologinya
yang menggambarkan empat pandangan mengenai hubungan sains dan agama. Tipologi
ini telah diajukan semenjak ia menulis pada tahun 1960-an dan tetap
dipertahankan hingga sekarang. Keempat pandangan itu adalah konflik,
independensi, dialog, dan integrasi.[34]
Di bawah ini akan diuraikan empat pandangan tersebut,
yakni pendekatan yang telah di ajukan Barbour guna mengkaji wacana modern
terkait pergesekan agama dengan sains.
1. Konflik
Pandangan
Konflik ini berawal dari anggapan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan (sains)
dan agama adalah saling bertentangan, serta tidak bisa sama sekali
dipertemukan.[35]
Banyak
pemikir yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains. Bagi
seorang ilmuan, bersikap jujur adalah dilema ketika temuan mereka bertentangan
dengan kayakinan teologis. Sejarah mencatat, peristiwa penyiksaan Gereja
terhadap Galileo pada abad ke 17, serta tersebarnya teologi anti teori evolusi
Darwin pada abad 19 dan 20 adalah sebagai bukti bahwa agama tidak bisa sejalan
dengan sains.[36]
Alasan
utama mereka menarik kesimpulan ini adalah bahwa agama jelas-jelas tidak dapat
membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya secara tegas, padahal sains bisa
melakukan hal itu. Sebagai contoh, agama mencoba bersikap acuh tak acuh dan
tidak mau memberi petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak
lain, sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan empiris.
Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan semua
pihak. Oleh karena itu, selalu ada pertentangan (konflik) antara cara-cara
pemahaman ilmiah dengan pemahaman keagamaan.
Kaum
skeptik sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsiapriori atau
keyakinan, sedangkan sains tidak tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu
sebagai benar. Selain itu, agama terlalu bersandar pada imajinasi, sedangkan
sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional,
berambisi dan subyektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak
terlalu berambisi dan objektif.[37] Pernyataan-pernyataan ini tampaknya
semakin menambah petunjuk bukti bahwa antara sains dan agama terdapat suatu
permusuhan timbal balik yang tidak dapat diatasi (konflik).
2. Independensi
Pandangan independensi ini menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang
serius antara agama dengan sains. Demikian ini karena agama dan sains memberi
tanggapan terhadap masalah yang berbeda.[38]
Pandangan
alternatif ini menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua domain independen
yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain.
Oleh karena itu, semestinya tidak ada kata konflik antara sains dengan agama.
Hal ini karena kedua kubu -baik sains maupun agama- sama-sama memiliki wilayah
yang berbeda. Di samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama memiliki
bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan masing-masing melayani
fungsi yang berbeda dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda.[39]
Secara
lebih spesifik, para pendukung pandangan ini menekankan bahwa wilayah kerja
sains adalah menguji dunia natural secara empiris, sedang wilayah kerja agama
ialah mengungkapkan makna terakhir yang melampaui dunia empiris. Sains
memusatkan perhatian pada “bagaimana” segala sesuatu terjadi di alam ini,
sedangkan agama memusatkan pada “mengapa” sesuatu itu ada (eksis). Sains
berurusan dengan sebab-sebab, sedangkan agama berurusan dengan makna. Sains
berurusan dengan masalah-masalah yang dapat dipecahkan, sedangkan agama
berurusan dengan misteri yang tak terpecahkan. Sains mencoba manjawab
persoalan-persoalan yang menyangkut cara kerja alam, sedangkan agama menjawab
tujuan terakhir dari alam. Sains memberi perhatian terhadap kebenaran
partikular, sedangkan agama lebih pada penjelasan “mengapa” manusia harus
mencari kebenaran.[40] Dengan demikian, tidak
diperkenankan -berdasarkan pandangan ini- menilai agama dengan tolok ukur
sains, demikian juga sebaliknya. Sebab, pernyataan yang diajukan oleh masing-masing
sangatlah berbeda dan isi dari jawaban mereka pun berbeda.
Lebih
jauh, pandangan ini menandaskan bahwa hanya dengan menempatkan agama dan sains
dalam kubu yang terpisah, maka munculnya konflik di antara kedua kubu dapat
dihindari. Oleh karena itu, pendekatan ini beranggapan bahwa seluruh persoalan
yang sangat disayangkan antara Galileo dengan Gereja yang terjadi pada beberapa
waktu silam, kiranya dapat dihindari jikalau agama tidak menyerobot masuk
kedalam suatu wilayah yang dewasa ini diberikan hanya kepada sains.[41]
3. Dialog
Dalam pandangan dialog, digambarkan bahwa ilmu dan agama memiliki bahasa,
metode dan ukuran kebenaran yang masing-masing berbeda. Meskipun keduanya
berbeda, namun tidak saling berlawanan bahkan saling mengisi dan menjelaskan
satu sama lain. Hubungan dialogis ini berusaha membandingkan metode kedua
bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan.[42]
Pendekatan dialog memandang bahwa sains dan agama tidak dapat
disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini
menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif.
Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi
perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi
teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan.
Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis.
Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka
sehingga tidak terlalu over sensitive terhadap
hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada
masalah harkat kemanusiaan. Berangkat dari sini, Albert Einstein,
pernah mengatakan bahwa “Religion without science is blind, science without
religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains
menjadi lumpuh.[43]
Dalam dunia manusia, ada realitas batin yang membentuk makna
dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran, dan ilmu bukan
hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu
memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau supranatural
ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya. Oleh karena itu, dialog dapat terjadi manakala ilmu
dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya masing-masing.
4. Integrasi
Pandangan
ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog, yakni
dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin
keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan
tentang dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains
diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Ada
beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan
pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi
keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi
Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama
dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah. Dengan kata lain, keyakinan agama
diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan
sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat
proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan
tentang hubungan integrasi ini.[44]
Sejalan dengan Barbour, Haught juga menawarkan tipologi
terkait hubungan sains dengan agama. Tipologi yang ditawarkan Haught mencakup
konflik, kontras, kontak dan konfirmasi. Menurut Haught, hubungan agama dan
sains diawali dengan titik konflik. Sementara itu, untuk mengurangi konflik
dilakukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak kontras
(berbeda keduanya). Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah berikutnya
adalah mangupayakan agar keduanya berdialog (kontak). Setelah tahap ini dapat
ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pemahaman yang benar tentang alam.
Selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi (konfirmasi).[45]
F. Islam dan Ilmu Pengetahuan
Islam adalah
agama yang menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam
menggunakan akalnya serta memikirkan segala yang ada di alam semesta. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam ayat al-Qur’an:
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó™$# br& (#rä‹àÿZs? ô`ÏB Í‘$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur(#rä‹àÿR$$sù 4 Ÿw šcrä‹àÿZs? žwÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ [46]
Hai
jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan.
Dalam
ayat tersebut Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk berfikir
(menggunakan akalnya) dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan
ruang angkasa harus dilihat sebagai suatu ibadah yang ditujukan selain untuk
memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia.
Allah
telah menurunkan mukjizat yang sangat berharga demi keberlangsungan hidup
manusia kepada Nabi Muhammad berupa al-Quran. Al-Quran adalah kitab suci umat
Islam yang menjadi pedoman hidup serta menyempurnakan kitab-kitab yang
diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Al-Quran bukan hanya sekedar kitab suci
bagi umat Islam, tetapi al-Quran bersifat universal yakni diperuntukkan untuk
seluruh umat manusia. Al-Quran merupakan rujukan dari berbagai macam ilmu
pengetahuan. Al-Quran bukan kitab sains, tetapi segala pengetahuan tentang
sains hendaknya dirujukkan kedalam al-Quran. Al-Quran secara eksplisit telah
menerangkan tentang segala apa yang ada dan terjadi di bumi ini dan dengan
sains lah manusia membuktikannya. Seorang ilmuwan muslim terkenal yaitu Ibnu Sina
mengatakan jikalau sebuah sains disebut sains sejati, yakni apabila ia
menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip
ilahi.[47]
G. Kesimpulan
Ilmu
pengetahuan ialah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem
mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang
keadaan hal-hal yang diselidiki (alam, manusia, dan lain-lain) sejauh yang
dapat dijangkau daya pemikiran serta pengindraan manusia, yang kebenarannya
diuji secara observatif, empiris, riset dan eksperimental.
Agama
adalah sebuah kepercayaan di mana di dalamnya terdapat ikatan-ikatan yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai
pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu
pengetahuan (sains) dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun
keduanya sama-sama memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia
Agama dan sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian.
Banyak ilmuwan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya.
Ian
G. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dan agama melalui Tipologi Sains
dan agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik,
Independensi, Dialog, dan Integrasi. John Haught juga ikut memetakan hubungan
sains dan agama. Tipologinya terdiri dari empat macam pandangan yaitu: konflik,
kontras, kontak dan konfirmasi.
Islam
adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mengerahkan segala
kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala apa yang ada di
alam semesta ini. Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi segala pengetahuan
tentang sains hendaknya dirujukkan kedalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara
eksplisit telah menerangkan tentang segala apa yang ada dan terjadi dibumi ini
dan dengan sains lah manusia membuktikannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. 2009. Ilmu, Filsafat dan
Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
Bagir, Zainal Abidin. 2006. “Sains dan Agama-Agama; Perbandingan
Beberapa Tipologi Mutakhir”, dalam Ilmu, Etika dan Agama.
Yogyakarta: CRCS.
Bakar,
Osman. 1994. Tauhid dan Sains; Essai-essai tentang Sejarah dan Filsafat
Islam Sains. Bandung: Pustaka Hudayah.
Barbour,
Ian G. 2002. Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama. terj. E. R.
Muhammad. Bandung: Mizan.
Fudyartanta,
R.B.S. 1997. Epistemologi; Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Liberti Yogyakarta.
Gazalba, Sidi.
1978. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama. Jakarta:
Bulan Bintang.
Gie, The
Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta.
Haught,
John F. 2004. Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog.
terj. Fransiskus Borgias. Bandung: Mizan.
Hendropuspito,
D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Ishomuddin,
2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakata: Ghalia Indonesia.
Kahmad,
Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Koentjaraningrat, 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: PT Dian Rakyat.
Lachman, Sheldon J. 1969. The Foundation of Science. New
York: Vantage Press.
Montagu,
Ashley. 1959. The Cultured Man. New York: Public Affair Press.
Nasution, Harun. 1979. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Pals, Daniels L. 1996. Seven Theories of Relegion.
New York: Oxford University Press.
Rose,
Israel H. 1967. A Modern Introduction of College Mathematics.
Cambidge: MIT Press.
Saebani,
Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang
Seluk-Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Pustaka Setia.
Soeprapto,
Sri. 2007. “Metode Ilmiah”, dalam Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Suriasumantri,
Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Wach, Joachim. 1994. Sociology of Religion. Chicago:
The Free Press of Glencoe.
[1]Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk
Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 35.
[2]Sri
Soeprapto, “Metode Ilmiah”, dalam Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 126.
Lihat pula: WC. Dampier, A Shorter History of Science(Cleveland:
World Publishing, 1966), 67.
[4]R.B.S
Fudyartanta, Epistemologi; Intisari Filsafat dan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 1997), 11.
[5]Lebih
jauh, The Liang Gie membagi ciri pokok ilmu menjadi tiga, (1) ilmu sebagai
rangkaian kegiatan manusia atau proses (2) ilmu sebagai tata tertip tindakan
pikiran atau prosedur (3) ilmu sebagai keseluruhan hasil yang dicapai atau
produk. Lihat The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta, 2004), 89-93.
[8]Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), 128.
[13]Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Ilmu; Kontemplasi Filosofis tentang Seluk-Beluk
Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, 172.
[16]Harun Nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[17]Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan
Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), 103
[20]Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama, 24-31. Lihat pula: Koentjaraningrat, Beberapa
Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1980); Daniels L.
Pals, Seven Theories of Relegion (New York: Oxford University
Press, 1996).
[32]Zainal
Abidin Bagir, “Sains dan Agama-Agama; Perbandingan Beberapa Tipologi Mutakhir”,
dalam Ilmu, Etika dan Agama (Yogyakarta: CRCS, 2006), 3.
[33]Ibid., 4.
Lihat karya Ian Barbour dalam bukunya yang paling penting Religion in
an Age of Science (New York: Harper & Row, 1990).
[34]Ian G.
Barbour, Juru Bicara Tuhan; Antara Sains dan Agama, terj. E. R.
Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), 47.
[36]John F.
Haught, Perjumpaan Sains dan Agama: dari Konflik ke Dialog, terj.
Fransiskus Borgias, (Bandung: Mizan, 2004), 2-3.
[47]Osman
Bakar, Tauhid dan Sains; Essai-essai tentang Sejarah dan Filsafat Islam
Sains (Bandung: Pustaka Hudayah, 1994), 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar